Cerpen "YANG DATANG SAAT KU SENJA DAN YANG PERGI SAAT HUJAN BELUM REDA" - Yudhie Haryono


Itu bunyi surat terakhirmu sebelum meninggal dunia. Dikirim dengan buku puisi dahsyat; buku-buku Kahlil Ghibran. Surat untuk menanggapi tesisku yang kutulis di tas kuliahmu 15 tahun lalu: "Kejahatan terbesar manusia bukan seberapa besar harta yang ia rampok tapi seberapa kuat mental dan kurikulum merampok itu ia wariskan pada generasi berikutnya."

Saat di bawah patung Liberty, engkau pernah bicara soal problem postkolonial. Menurutmu, problem besarnya adalah moral tidak sebagai modal. Makanya, moral merupakan aturan atau tata cara hidup yang bersifat normatif (mengatur/mengikat) yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur dan peradaban manusia.

Titik tekan ”moral” adalah aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara sengaja, baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, lembaga pengajian, atau komunitas-komunitas lainnya yang bersinggungan dengan masyarakat.

Secara umum, moral diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk atau benar dan salah. Moral merupakan suatu tata nilai yang mengajak manusia untuk berperilaku positif dan tidak merugikan orang lain.

Dus, seseorang dikatakan telah bermoral jika ucapan, prinsip, dan perilaku dirinya dinilai baik dan benar oleh standar-standar nilai yang berlaku di lingkungannya.

Sedang moralitas adalah kualitas dari perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Singkatnya, moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia. Contoh terbaik dari moralitas adalah sopan santun, keadaban, keselarasan dan konsensus.

Jika makna moral diacu ke wilayah publik maka kini tak ada lagi daulat moral. Kini tak ada lagi moralitas. Apalagi moralitas kepahlawanan. Sebaliknya, agama berganti ziarah. Ideologi bermetamorfosis lendir. Moral, agama, ideologi dan kedaulatan negara sdh jadi mitos purba, ditelan oleh kuatnya modal sebagai pilihan keserakahan dunia.

Dalam daulat modal, semua warganegara bertanya, "berapa hargamu?" lalu  "dibayar berapa?" dan "siapa yg menang?" lalu "untung berapa?"

Publik dan respublica habis. Nalar umum dan kebijakan maslahat hancur. Tirani modal melahirkan monoterisasi (uang adalah segalanya). Ada uang, ada semuanya. Dengan uang, seseorang dapat mengatur prifat, publik, budaya, agama plus negara.

Saat modal mengkonsolidasi via agensi hitam dng eksploitasi-ekspansi-akumulasi maka negara persis di bawah ketiaknya. Dus, kemerdekaan, kemodernan, kemandirian, kemartabatifan dan batas wilayah yang penting bagi negara akan menjadi belengu bagi meluasnya gerak modal dengan kepentingan akumulasi.

Pada konteks ini saat dua kekuatan berhadap-hadapan maka hukum besi persaingan bebas akan bekerja, "siapa yang lemah bakal menjadi pihak yang kalah." 

Bangsa yang dipimpin para pecundang dan culun sehingga memiliki ketergantungan besar akan mengalami kekalahan bahkan kehancuran. Ini merupakan nasib dari keberadaan suatu negara-bangsa yg merelakan daulat modal sbg nilai dan imaji barunya.

Kini, semua warganegara sudah berada pada titik di mana daulat modal menisbikan segalanya. Padahal, modal dan kemerdekaan sesungguhnya berangkat dari titik yang sama yaitu hak dan tujuan warga manusia. Bedanya, kemerdekaan menciptakan batas sementara modal menghancurkannya. Gerak daulat modal tidak dapat dibatasi. Daulat modal hadir di mana saja dan kapan saja. Semua demi menciptakan proses akumulasi tak terbatas.

Saat daulat modal dijadikan pintu masuk para kriminal-begundal-kolonial, kita yang waras kemudian terjebak isu-isu pinggiran: presiden tidak tahu dirinya, kabinetnya gokil, dewannya ngutil, militernya jualan narkoba, yudikatifnya jadi makelar dll.

Akhirnya, praktik eko-pol illegal yang massif, strukturif dan terorganisif berbasis uang kini jadi keseharian. Konstitusi hilang. Sejarah terhapuskan. Ide dan gagasan ditongsampahkan. Itulah negara kalian kini. Atau bagaimana menurut kalian? 

Tentu, aku bahagia mengenal kalian. Ikatan bunga revolusi yang mencinta Indonesia. Teman berbincang yang sangat baik untuk mentertawakan takdir.

Bermilyar hari memberitahu kita bahwa republik ini bunuh diri. Telah lama kita duduk tertegun. Kagum dan ngungun. Kok bisa begitu banyak agama hidup di sini, tapi penjahat panen tiap detik. Peristiwa anomali. Membuat kita merenungi dan menghayati semua peradaban yang chaos.

Di penghujung senja yang merah menguning. Di penghabisan air wudu di waktu subuh. Yang ada adalah hanya bayang mayat-mayat. Tebarkan keranda. Juga penyakit tak tersembuhkan. Tapi, itu hanya membuat hatiku gelisah resah tak menentu. Buntu.

Semua pasti sirna kecuali ilmu dan amal, katamu suatu kali saat kita lempar tai ke istana. Tapi nujummu itu kini tak faktual. Sebab yang abadi kini hanya keculasan dan pengkhianatan.

Sayank. Sudah seratus tahun saya tak percaya pada usaha cerdas, kejeniusan, hantu, hutan, harapan-harapan, cita-cita, mimpi-mimpi, ilusi-ilusi dan perjumpaan-perjumpaan jaringan. Aku juga sudah tak percaya pada nasib baik dan mukjizat. Makanya kucukupkan diriku jadi tukang ketik.

Aku bisa apa sebab noktah ini kini cuma bergurau ceria menunggu kepunahan.

***

0 comments:

Post a Comment