Cerpen Libur "EKONOMETRIKA" - Yudhie Haryono


Daoed berkata lirih pada Joesoef di bawah beduk. Sambil menatap sendu dan rindu. Keduanya sepasang kekasih yang sudah sama-sama manula. Yang memutuskan tidak menikah dan tidak menikahi orang lain. Yang setia bercengkerama dan bertemu muka untuk membahas ekonometrika. Jenis ilmu baru yang telah menyesatkan Indonesia.

Keduanya hanya sepasang kekasih yang berfilsafat bahwa keabadian tak menyimpan apa-apa kecuali cinta. Karena cinta adalah keabadian itu sendiri.

Seperti hujan yang berhenti, atau siang yang berganti, maka tak ada kerinduan yang tak bisa dihapuskan oleh doa dan dukungan. Tak ada penyakit yang terus bersemayam oleh kesabaran dan keikhlasan.

Dalam kalut ujian dan cobaan alam raya, kita akan menuju titik kesetimbangan. Di mana dan kapan? Saat waktu memagut menuju usia tua dan senja. Cepat atau lambat. Sama-sama akan sampai. Seperti anak-anak panah meninggalkan busurnya menancap pada tujuannya.

Kita ini, kata Daoed, "gagal menjadi negara nasional yang martabatif karena lima hal penting." Kelimanya berkelindan dan saling menguatkan.

Pertama, mengkhianati konstitusi sehingga dari rasa bersama berubah menjadi diri sendiri. Hidup bersama menjadi hidup sendiri-sendiri.

Kedua, menetapkan ekonomi sebagai usaha menaikkan kekayaan diri bukan memeratakan kekayaan. To have more, mestinya to be more.

Ketiga, melupakan mental dan watak dasar terbentuknya negara Indonesia: bersatu untuk melenyapkan penjajah di muka bumi.

Keempat, berkhianatnya elite kepada rakyat atas janji perubahan hidup lebih layak. Elite setelah berkuasa menjadi pemain sirkus yang merubah harapan menjadi hiburan.

Kelima, elite melupakan geopolitik kita sebagai negara kepulauan. Mereka membuat negara daratan dan kapling tanpa menyadari akibatnya.

Tetapi Joesof, di atas segalanya kita kehilangan dan menghilangkan cinta pada sesama. Padahal, cinta adalah satu-satunya cara kita bersemesta; cara manusia menjaga kebebasan di dunia; cara kita membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya; cara kita berbagi dan bertahan. Seperti cintaku padamu.

Tetapi, kita sudah terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Kita semua tenggelam dalam lautan luka dalam. Kita tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kita tanpa kompas pancasila hanya butiran debu.

Pretttt, jawab Joesoef. Yang benar menurutku adalah, "kita semua dikutuk merasa saling benar di kehidupan ini karena kita bangsa oligarkis pemuja demit." Tragis.

Baiklah, kata Daoed. Kini mari baca puisi. Nusantara; Kita eja nama itu dengan segenap nalarku, cinta dan jihad kita. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kita sebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan? Tanya kita.

Indonesia; Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayap kita terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-raga kita terkhianati olehmu. Setelah air mata kita tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yg sedang kau rasakan? Tanya kita.

Kekasih; kami tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadap kami. Kini kami versus nusantara. Kini kami melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan? Tanya kita.

***

0 comments:

Post a Comment