ROBOHNYA MORALITAS KAMI - Yudhie Haryono


Moral adalah modal. Karenanya, moral merupakan aturan atau tata cara hidup yang bersifat normatif (mengatur/mengikat) yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur dan peradaban manusia.

Titik tekan ”moral” adalah aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara sengaja, baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, lembaga pengajian, atau komunitas-komunitas lainnya yang bersinggungan dengan masyarakat.

Secara umum, moral diartikan sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia tentang nilai-nilai baik dan buruk atau benar dan salah.

Moral merupakan suatu tata nilai yang mengajak manusia untuk berperilaku positif dan tidak merugikan orang lain.

Dus, seseorang dikatakan telah bermoral jika ucapan, prinsip, dan perilaku dirinya dinilai baik dan benar oleh standar-standar nilai yang berlaku di lingkungannya.

Sedang moralitas adalah kualitas dari perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.

Singkatnya, moralitas mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia. Contoh terbaik dari moralitas adalah sopan santun, keadaban, keselarasan dan konsensus.

Jika makna moral diacu ke wilayah publik maka kini tak ada lagi daulat moral. Kini tak ada lagi moralitas. Apalagi moralitas kepahlawanan.

Sebaliknya, agama berganti ziarah. Ideologi bermetamorfosis lendir. Moral, agama, ideologi dan kedaulatan negara sudah jadi mitos purba, ditelan oleh kuatnya modal sebagai pilihan keserakahan dunia.

Dalam daulat modal, semua warganegara bertanya, "berapa hargamu?" lalu  "dibayar berapa?" dan "siapa yang menang?" lalu "untung berapa?"

Publik dan respublica habis. Nalar umum dan kebijakan maslahat hancur. Tirani modal melahirkan monoterisasi (uang adalah segalanya). Ada uang, ada semuanya. Dengan uang, seseorang dapat mengatur prifat, publik, budaya, agama plus negara.

Saat modal mengkonsolidasi via agensi hitam dengan eksploitasi-ekspansi-akumulasi maka negara persis di bawah ketiaknya.

Dus, kemerdekaan, kemodernan, kemandirian, kemartabatifan dan batas wilayah yang penting bagi negara akan menjadi belengu bagi meluasnya gerak modal dengan kepentingan akumulasi.

Pada konteks ini saat dua kekuatan berhadap-hadapan maka hukum besi persaingan bebas akan bekerja, "siapa yang lemah bakal menjadi pihak yang kalah." 

Bangsa dan negara yang dipimpin para pecundang dan culun sehingga memiliki ketergantungan besar akan mengalami kekalahan bahkan kehancuran.

Ini merupakan nasib dari keberadaan suatu negara-bangsa yang merelakan daulat modal sebagai nilai dan imaji barunya. Bukan daulat moral.

Kini, semua warganegara sudah berada pada titik di mana daulat modal menisbikan segalanya. Padahal, modal dan kemerdekaan sesungguhnya berangkat dari titik yang sama yaitu hak dan tujuan warga manusia.

Bedanya, kemerdekaan menciptakan batas sementara modal menghancurkannya. Gerak daulat modal tidak dapat dibatasi. Daulat modal hadir di mana saja dan kapann saja. Semua demi menciptakan proses akumulasi tak terbatas.

Saat daulat modal dijadikan pintu masuk para kriminal-begundal-kolonial, kita yang waras kemudian terjebak isu-isu pinggiran: presiden tidak tahu dirinya, kabinetnya gokil, dewannya ngutil, militernya jualan narkoba, yudikatifnya jadi makelar dll.

Akhirnya, praktik eko-pol illegal yang massif, strukturif dan terorganisif berbasis uang kini jadi keseharian. Konstitusi hilang. Sejarah terhapuskan. Ide dan gagasan ditongsampahkan.

Itulah negara kalian kini. Atau bagaimana menurut kalian? Tentukanlah segera.

***

0 comments:

Post a Comment