PERADABAN BATIK - Yudhie Haryono

 

Ratusan ribu triliyun kita dirampok oleh negara lain, lalu mereka datang menawarkan pinjaman dan membangun kedutaan besar yang mewah di tanah air ini tetapi kita sembah. Inilah potret terbaik peradaban kita yang dirawat dalam ungkapan keren: orientalisme.

Melawan semua triple kebodohan itu (perampokan, jerat rentenir dan penyembahan asing), kita perlu pikiran besar untuk bertindak besar. Terutama kini saat kita sedang menghadapi desakralisasi dan profanisasi segala hal. Dengan pikiran dan tindakan besar yang raksasa, masa lalu dan masa kini yang baik akan mencipta masa depan lebih baik.

Salah satu pikiran besar dan tindakan heroik itu adalah mentradisikan batik. Produk peradaban yang sempat diklaim milik tetangga. Kreasi tinggi dari warisan purba yang sempat dianak tirikan.

Kini. Kita sadar. Setiap daerah di Indonesia memiliki batik yang khas. Dengan hipotesa ini, batik menjadi salah satu bahan pakaian khas Indonesia atau kain bergambar, yang dibuat dengan cara menorehkan malam di atas kain dan membentuk motif tertentu serta menjadi ciri peradaban kita.

Karenanya, produk batik Indonesia telah dikenal sejak zaman purba dan terus berkembang sampai kini. Tetapi, kesenian batik secara umum meluas di Indonesia dan secara khusus di pulau Jawa setelah akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.

Model batik itu banyak, ada yang tulis, cap, cetak sablon dan lukis. Semua punya nilai-nilai, motif, cita-cita, simbol, harapan dan ciri khas.

Nilai-nilai sosial batik dapat dilihat dari coraknya, warnanya, rekaannya serta elemen-elemen yang menghiasi batik tersebut.

Terkadang batik dibuat bersama-sama agar mempercepat proses pengerjaannya. Dalam proses pembuatan batik tersebut terjadi interaksi sosial antar pengrajin batik yang satu dengan yang lain.

Pada zaman dulu batik hanya digunakan oleh keluarga bangsawan; elite masyarakat dan pemuka kerajaan. Pada zaman modern ini batik sudah digunakan oleh semua kalangan masyarakat.

Batik adalah produk fashion tinggi. Bermakna dalam. Dan, dalam fashion terkandung simbol, kode dan filosofi "apa yang kita pakai mencerminkan siapa kita. Apa yang kita pakai mencerminkan jiwa kita. Selera kita mencerminkan ‘bahasa’ yang kita yakini. Dan apa yang kita yakini mempengaruhi tindakan maupun keputusan yang kita buat" (Reza A.A Wattimena: 2010).

Batik sejak mula menjadi alat untuk mengekspresikan substansi diri, keluarga, masyarakat, negara dan bangsa. Ia menjadi jangkar dan media ekspresi sekaligus sebagai alat untuk menangkap esensi diri. Tak cukup ia sebagai baju, penutup aurat, pelindung dari panas dan dingin ataupun asesoris sederhana.

Tetapi, batik juga simbol dari dilema. Banyak aspek yang bertentangan hidup di dalamnya: pencipta sekaligus pemecah kepastian identitas; simbol kebebasan sekaligus tanggung jawab yang mengikat dengan batas; ada kebaruan (yang tak pernah sungguh-sungguh baru) sekaligus ada kepurbaan.

Sungguh, batik secara gagasan adalah tempat berlindung dan jembatan untuk berpikir dengan cara yang berbeda. Penuh alternatif. Batik dan mutan-mutan di sekitarnya membuka kemungkinan jalan peradaban baru. Dus, dengan batik kita harus rajin merangkul idealisme kejeniusan demi poros dunia baru.

Sedangkan menelantarkan batik itu jahiliyah. Dan, kejahiliyahan itu tidak berumah. Ia suka singgah di mana pun sekehendaknya. Sesekali mampir di istana. Terkadang hidup di kampus dan rumah ibadah. Terakhirkali kulihat berwajah culun dan suka blusukan sambil menyalahkan masa lalu di kursi kekuasaan. Sampai-sampai ia tak paham makna kuasa.

***

0 comments:

Post a Comment