PENDIDIKAN MERDEKA ALA KI HADJAR DEWANTARA - Yudhie Haryono


Karena mahasiswaku bertanya, maka tugasku menjawab. Pertanyaannya adalah: mengapa tuan memilih menjadi guru saat bisa jadi pedagang. Menjadi guru, adalah hidup dalam buku, perpus, sekolah dan menegara yang tak tunduk kepada batas. Dengan begitu, ia merdeka dan bergelora. Tanpa itu semua, ia robot yang mati: kering dan kaku.

Pada titik itulah, kini guru-guru kita. Tanpa inovasi, jumud, jahiliyah dan tentu tak memberontak. Itulah mental guru yang sudah lama dinujum oleh Ki Hadjar Dewantara. Terlebih, presiden-presiden kita tuli, buta dan bisu kalau sudah soal pendidikan.

Singkatnya, realisasi pendidikan Indonesia dari zaman kolonial hingga sekarang tetap saja mengecewakan. Tidak ada lagi nilai-nilai kebangsaan-nasionalisme-keindonesiaan yang ditanamkan dalam proses penyelenggaraan pendidikan nasional kita. Yang ada hanya kapitalisasi pendidikan. Yaitu sistem pendidikan pencipta pemisahan orang-orang terpelajar dengan rakyatnya. Akhirnya muncul stratifikasi sosial di tengah kehidupan masyarakat.

Tentu, itu adalah warisan sistem pendidikan pemerintah kolonial yang tidak demokratis karena bersifat elitis, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan. Pendidikan sebagai mesin pemroduk begundal kolonial yang kejam dan asosial.

Karena itu, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan haruslah memerdekakan kehidupan manusia. Pendidikan mesti disandarkan pada penciptaan jiwa merdeka, cakap dan berguna bagi masyarakat: kini dan ke depan. Tanpa mental merdeka, pendidikan hanya alat penjajahan.

Menurut Ki Hadjar, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis hidup bangsanya (kultural-nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang harus mengangkat derajat negeri dan rakyatnya sehingga bersamaan kedudukan dan pantas bekerja sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.

Atas alasan revolusi nasional dan pemerdekaan negara 100% serta pemuliaan Indonesia di dunia, Ki Hadjar memelopori pendidikan dengan mendirikan sekolah Taman Siswa pada tahun 1922. Sekolah ini bersemboyan "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."

Arti dari semboyan ini adalah: di depan, seorang pemimpin dan guru harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik; di tengah atau di antara murid, mereka harus menciptakan prakarsa dan ide; di belakang mereka harus bisa memberikan dorongan dan arahan.

Itulah inti revolusi pendidikan sekaligus revolusi kebudayaan ala Ki Hadjar. Inilah jalan dan metoda postkolonial. Inilah cara terbaik memaknai proklamasi. Tanpa pendidikan revolusioner, kita hanya akan melahirkan bangsa besar yang menternak manusia kerdil: kembali dijajah.

Tentu ini berlawanan secara diamertal dengan model pendidikan kolonial. Dari tangannya lahir pula ide demokrasi dan ekonomi terpimpin. Ide yang kemudian dipraktekkan Bung Karno saat berkuasa.

***

0 comments:

Post a Comment