REFLEKSI SOSIAL POLITIK 2019 - Nusantara Centre, Yudhie Haryono


Jika kharisma nasionalis sudah habis, TNI sudah menjadi anjing penjaga konglomerat, islam sudah jadi arabisme, pulisi sudah jadi begundal, biku, kyai dan romo sudah jadi penjual fatwa, mahasiswa pada mati muda, kepada siapa kita berharap? Kepada siapa kepemimpinan publik kita pasrahkan?

Sepertinya kok kita tak bisa lagi berharap! Pada mereka di tahun 2020 dan tahun-tahun berikutnya.

Padahal, Indonesia kita, mungkin salah satu peradaban gigantik dan purba di muka bumi yang menyebut dirinya dengan nusantara: lautan yang ditaburi pulau-pulau membentuk zamrud katulistiwa.

Ialah ibu dari mula peradaban besar dunia. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya. Peradaban yang harusnya mudah mendapat pimpinan jenius demi masa depannya. Tapi kok, tak telihat tanda-tanda!

Repotnya, Aku di dalam. Aku terlibat. Aku melihat. Makin hari yang terjadi adalah Republik Paket. Cara bernegara jangka pendek. Hasil kongkow di KFC. Tapi bisanya itu. Mau bagaimana lagi? Masak diajak membuat roadmap 1000 tahun indonesia bermartabat?

Inilah pasar swalayan bagi si kaya. Tempat bertelur para mafia. Arena begal para begundal. Hebat-hebat sebab rakyat makin melarat. Buah revolusi mental yang kami buat. Panen nawa cita yang kami ketik. Jagad dewa bathara. Ada apa dengan indonesiaku?

Ada laku sesat. Mengkhianati janji bersama pancasila. Saat Pancasila sebagai fondasi intelektual dan perekat sosial yang menyatukan berbagai partikel (SARA) maka ia akan berfungsi sebagai kesetiaan dasar yang lebih menggerakkan perasaan, terasa lebih hangat dalam jiwa, menjadi keyakinan bersama untuk terus melawan penjajah-penjajah baru.

Saat nasionalisme dan kebangsaan mulai tak hadir dalam kurikulum sekulah kita, maka tak akan ada lagi agensi pembangunan yang dapat mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara Indonesia!

Di lain waktu. Saat kerumunan elite bangsa ini berlomba-lomba menjadi begundal kolonial maka sesungguhnya penyebab Indonesia belum makmur-bermartabat adalah soal mental bernegara. Mental yang mantul.

Para begundal itu memiliki mental penerabas, mental pemalas, mental korup, mental mumpung, mental fundamentalis dan mental kolutif.

Mental tersebut jelas sangat menghambat kemajuan peradaban kita. Padahal kemajuan suatu bangsa lebih banyak ditentukan oleh mental daripada kompetensi bahkan sumber daya alam.

Dus, mental kita harus direvolusi. Dan, revolusinya dengan mental yang revolusioner. Inilah mental kaya yang menghancurkan mental kere. Mental kere ini merupakan gaya hidup yang hanya mau menerima tetapi tidak mau memberi, bahkan tidak mau bersyukur atas apa yang telah diperoleh; tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain; tidak mau tobat.

Karenanya, mental revolusioner ini harus ditanamkan sejak kecil melalui pembiasaan dan keteladanan; dipastikan lewat kurikulum; disegerakan di semua jenjang sekulah.


***

0 comments:

Post a Comment