CHAIRIL ANWAR DAN REVOLUSI KAUM MUDA - Yudhie Haryono


Tak ada sejarah kaum tua di sini. Tak ada investasi kaum tua di republik ini. Mereka hanya penikmat dunia dan penumpuk janji-janji. Tak akan kalian temui, kaum tua yang idealis dan panutan di sekitar proklamasi.

Dus. Jikalau republik tak menuntaskan janji Proklamasi, pastilah karena peran kaum tua yang over dosis. Kaum tua berbaju baru dan kaum muda bermental tua. Inilah biang kerok kehancuran bangsa.

Karena itu, jika kalian ingin tahu jantung Indonesia, bacalah sejarah kaum muda. Dan, di antara kaum muda Indonesia yang bintangnya menyinari persada adalah Chairil Anwar.

Sejarah mencatat bahwa semua karyanya yang asli, modifikasi dan terjemahan dikompilasi dalam tiga buku: Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Semua karyanya berjumlah 94 yang ditemukan. Semuanya menghentak, memberontak dan menginspirasi.

Chairil adalah pejuang muda dan penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia Indonesia meraih kemerdekaan. Sebab merdeka menjadi prasyarat bagi kemandirian, kemodernan dan kemartabatifan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).

Sajak berjudul, “Persetujuan dengan Bung Karno” adalah refleksi dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Sajaknya yang berjudul “Aku” dan “Diponegoro” menguatkannya sebagai sajak perjuangan. Kalimat "Aku binatang jalang" dalam sajak Aku, adalah dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan ’45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Ia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Sebagai indonesia muda, ia meninggal dalam usia muda (26 thn) karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Tanggal meninggalnya (28/4/49) diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia: Hari Revolusi Kaum Muda.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau tidak tamat. Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Ia pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana sambil mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kita lihat, selama 26 tahun jiwa dan pikirannya hanya untuk Indonesia. Dengan itu, ia mati dalam keadaan miskin kapital. Tidak seperti kaum tua yang mati bengkak perut dan bengkak rekening hasil korupsi di mana-mana. So, wahai kaum muda, berontaklah. Rebut kuasa dan sinergikan semangat Chairil dan Gie dalam diri kalian.

Ingatlah, "tidak ada penghinaan dan ujian yang akan membuat kita sengsara jika kita jadikan hal itu sebagai ladang amal untuk meningkatkan kemuliaan dengan memaafkan dan sabar." Ya. Kesabaran revolusioner!

So, singkirkan kaum tua, mereka yang menjadi anjing beludak asing dan aseng. Sebab, tesisnya jelas: tanpa kaum muda, tak ada Indonesia. Tanpa kaum tua, Indonesia justru Raya.

***

0 comments:

Post a Comment