Sinetron "JIKA SAJA AKHLAKMU SECANTIK WAJAHMU" - Yudhie Haryono


Setelah adzan. Undangan kegalauan karena merasa para pendengarnya tuli. Kebijakan yang tak bijaksana. Saat pelipur lara tandas terterjang doa. Aku persembahkan hidupku untukmu. Siang malam kuberwirid namamu. Telah kurelakan hatiku padamu. Telah kuserahkan semua dompetku padamu. Namun kau masih bisu diam seribu bahasa. Sekali berucap hanya kemarahan saja. Ngedumel bak orang gila: harta, jabatan dan sempak-sempak palsu.

Setelah sujud terakhir hati kecilku bicara. Aku kalah dan menyerah. All, baru kusadari cintaku bertepuk sebelah kaki. Alle, kau buat remuk seluruh jiwaku. Alleania, kau hancurkan peradabanku sepenuhnya.

DAN, KAU BAHAGIA SEBAHAGIA-BAHAGIANYA! Tentu sambil bangga. Luwarbiyasa. Jika masalah membuatmu menangis, maka ingatlah kekasihmu untuk membuat hatimu tersenyum kembali. Tapi kekasihmu rupanya uang dan kursi. Bukan lelaki setia dan berprestasi.

Padahal, dalam pancasila dikatakan, pacarilah laki-laki yang baik akhlaknya. Kalau dia buruk akhlaknya maka kamu harus berhati-hati dengan murkanya. Karena murka laki-laki yang baik tau bagaimana cara memperlakukan kekasihnya dengan baik. Pilihlah dengan baik, karena di tangan nakhoda yang baik, ia tau ke mana kapal besar kehidupan akan dituju. Tapi kau memilih dompet, bukan akhlak dan moral.

Maka, sepertinya hatimu telah punah. Pecah terbawa banjir deras musim ini. Tak peduli lagi dengan sapa dan kasihku. Kau cantik. Sangat cantik. Paling cantik. Tapi akhlakmu busuk. Moralmu ambruk. Tak peduli laku perjuangan.

Kekasihku yang baik wajah tak baik hati. Yang kupuja sejak pertama menolak puisi-puisiku. Taukah engkau bahwa aku sering merasa telah dikutuk alam raya menjadi salah satu intelektual paling sengsara di republik ini.

Otakku yang beku, sakitku yang tak ada obatnya, karirku yang turun, bukuku yang tak laku, pidatoku yang ditinggalkan pendengar, keluargaku yang tak mendukung, permusuhan elit yang tak berhenti, menjadi murid yang jahil dan perasaan putus asa yabg langgeng tak berkesudahan, adalah potretku.

Padahal engkau bidadari, yang entah di mana dan entah sedang apa. Mungkin sayapnya patah. Mungkin kakinya lelah. Mungkin hatinya gundah. Tetapi dengan rindunya dari persembunyian alam lain, pernah mengirim puisi untukku. Aku membacanya. Aku menderita. Aku putus asa. Aku tak tahu harus bagaimana. 

"Bila kutitipkan dukaku pada langit, pastilah langit memanggil mendung/Bila kutitipkan resahku pada angin, pastilah angin menyeru badai/Bila kutitipkan geramku pada laut, pastilah laut menggiring gelombang/Bila kutitipkan dendamku pada gunung, pastilah gunung meluapkan api/Tapi kan kusimpan sendiri mendung dukaku dalam langit dadaku/Kusimpan sendiri badai resahku dalam angin desahku/Kusimpan sendiri gelombang geramku dalam laut pahamku/Kusimpan sendiri."

Ini mirip puisi Chairil Anwar yang berjudul "Pemberitahuan": Bukan maksudku mau berbagi nasib/Nasib adalah kesunyian masing-masing/Kupilih kau dari yang banyak, tapi 
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. 

Aku pernah ingin benar padamu/Di malam råaya, menjadi kanak-kanak kembali.

Kita berpeluk cium tidak jemu/Rasa tak sanggup kau kulepaskan/Ayok satukan hidupmu dengan hidupku/Aku memang harus lama bersamamu/Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!

Kekasih. Tentu saja. Sangat jelaslah bahwa membaca jiwamu, menyayangi ragamu, mencintai hakikatmu, menciumi dan mempuisikan seluruh tubuhmu itu membawa keberkahan sehingga waktu yang aku miliki bisa lebih bermakna dan berbahagia.

Engkau mukjizatku. Jika saja sekarang aku boleh menyetubuhimu, kukerjakan sepenuh jiwa ragaku. Aku sudah, sedang dan akan membuatmu orgasme andaipun engkau sudah jadi istriku dan ibu anak-anakku. Sebab, tiap hari bersamamu adalah hari pengantin baru.

Kasih. Samudra mencipta keluasan. Hujan mencipta pelangi. Sendiri mencipta puisi. Kehilangan mencipta putus asa. Perjalanan mencipta roman. Lalu, apa warisanku? Tanyaku bertalu-talu. Itulah aku yang tak mampu.

Terakhir. Engkau perlu tahu, jangan mencintaiku di waktu luangmu, tapi luangkanlah waktumu untuk mencintaiku. Sebab engkaulah quranku, bidadariku, hidup dan matiku. Kini. Dan, seterusnya. Amitabha. Aamiin.

***

0 comments:

Post a Comment