Cerpen Khusus "BEN DAN BUKU MENTAL KOLONIAL" - Yudhie Haryono


Aku malam ini mimpi ketemu Prof Ben Anderson. Dia menanyakan projek bukuku yang bertema studi mental kolonial dan teori kemandirian.

Saat menjelaskan dengan semangat-semangatnya, aku terbangun karena suara berisik masjid yang kurang sopan pada lainnya. 

Tidak banyak yang kutahu soal Prof Ben karena hanya beberapa kali ketemu dan dialog.

Tapi semua karyanya kubaca dan kukoleksi. Suatu kali, aku memberinya bukuku yang berjudul Pos-Islam Liberal. Dia bilang, buku yang bagus dan akan lebih bagus jika risetnya dilanjutkan dengan tema post-kolonial Indonesia.

Lalu, dengan gaya berpikir antropologisnya, Prof Ben menjelaskan Indonesia sebagai konsepsi nasionalis atau bangsa yang berasal dari komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.

Indonesia adalah sesuatu yang dibayangkan oleh para pendiri republik walau dalam pikiran setiap orang yang menjadi anggotanya, hidup sebuah bayangan berbeda-beda tentang kebersamaan mereka yang diproklaimkan secara sengaja.

Maka, meneliti dan menuliskannya sebagai usaha penilaian: "apakah mimpi itu telah tercapai menjadi penting."

Dan, kamu, kata Prof Ben, sangat mampu menuliskannya dari perspektif studi postkolonial. Wah... sempat tak mampu berkata-kata aku ini. Binun. Tertegun.

Draft buku mental kolonial telah kuserahkan setahun lalu. Juga kemarin sebelum meninggal, draft buku teori kemandirian kuserahkan padanya. Kami janjian akan membahasnya pelan-pelan sambil menikmati candi Prambanan di akhir Desember. Eh...

Takdir berkata lain. Indonesianis yang dahsyat dan profesor emeritus dari Universitas Cornell, Amerika Serikat itu meninggal di sebuah hotel di Batu, Malang, Sabtu malam, 12 Desember 2015. Belum sempat beliau memberi catatan kritis atas dua draf bukuku tapi kini sudah dimakan cacing nasib dan tubuhnya.

Pada akhirnya, kita memang sedang karnafal menuju kuburan. Untuk hilang dan dikenang entah sebagai apa. Selamat jalan Tuan Ben.

Setidaknya, di perpusku kini ada: Java in a Time of Revolution, Debating World Literature, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Imagined Communities (Edisi 1983), The Spectre of Comparisons Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination. Semua ada versi bahasa Indonesianya.

Guruku. Atau kupanggil kawan biar dekat; Tak ada waktu yang lebih syahdu dari mula rintik air mata berganti gerimis sore saat turun dari puncak. Di jalan tol ini kita sesungguhnya pernah berucap janji. Soal-soal subtansi dan urat nadi masa depan.

Tapi kini tinggal kenangan. Bermilyar manusia datang dan pergi. Tapi hanya hati dan senyummu yang tak dipunahkan hasrat-hasrat kuasa.

Kawan; Sesungguhnya hidup manusia tidaklah bermula dari dalam kandungan ibunya dan tidak pernah berakhir di liang kuburnya. Hidup bermula ketika dua mata orang dewasa berkata-kata: kaulah sepotong sorga yang dikirimkan Tuhan untuk kita saling bekerjasama menikmati sedu-sedan takdirNya.

Kita tak berakhir karena mewariskan buku dan moral. Buku tak membunuh kehidupan. Sebaliknya: buku memanjangkan usia kehidupan.

Teman; Dan, janji adalah alfatihah. Percintaan adalah yasin. Sedang kerjasama adalah kitab suci.

Terjadilah awal dan akhir dari cakrawala yang penuh oleh rembulan dan bintang. Sejarah rembulan-bintang ini tidaklah ditinggalkan oleh jiwa yang mencintai, cinta yang berdasarkan gerak nurani. Karena bintang rembulan adalah dewa-dewi yang tak hadir kecuali atas pertunangan siang dan malam.

Malam ini hujan; Aku terbadaikan basah air matamu seperti sedihku atas semua kegagalan-kenistaan cita-citaku. Sebab itu tak ada yang lebih menyedihkan kecuali kita tahu bahwa kesedihan kita memproduk kesedihan-kesedihan sesama.

Sungguh, aku tidak tahu sejak kapan di negeri ini moral hanya dibicarakan dan diberitakan.

Kemudian orgasme. Tak lebih. Hukum hanya diomongkan dan dipergunjingkan. Lalu orgasme. KKN hanya dipelajari dan dilaksanaken. Lalu tidak diberantas dam diharamken. Apakah sejak merdeka atau setelah reformasi yang kami gerakkan? Entah. Yang pasti banyak yang salah.

Khusus kepada hantu, hutan dan tuhan. Ya. Setahuku kalian tuli, buta, bisu dan tetap tak peduli pada nasibku dan nasib kaum papa lainnya.

***

0 comments:

Post a Comment