Cerpen Kamis "DI MANA KINI AKSARA DAN BINTANG" - Yudhie Haryono


Satu pertanyaan penting: Siapakah dia? Sengaja lari di saat kita terjatuh habis. Sengaja lupa di saat kita di bawah kalah. Sengaja amnesia di saat kita tak punya apa-apa. Sengaja diam di saat kita menderita. Sengaja tak ada di saat kita sedang butuh-butuhnya. Sengaja mencatat dirinya saja sebagai pelaku sejarah satu-satunya.

Dia mantan. Mantan mertua yang jahat luwarbiyasa.

Kuketik ini di tengah sakit tenggorokan yang tak terlukiskan sebalnya. Saat dokter belum mampu mengobatinya.

Anak-anakku, kalian adalah buah hatiku. Bintang di langit, Aksara kemenangan adalah sepasang luas cakrawala pelampau gugus nusantara. Keduanya tunas-tunas jenius pakubumi.

Aku menjadi ayah kalian, biar terasa berat dan mandi keringat, tetaplah kejutan. Mirip mukjizat yang didapat dengan luar biyasa walau tanpa istri yang telah berpulang mendahului saat Bintang tertawa ketika bayinya. Maka, aku rawat dengan kasih berlimpah. Aku besarkan dengan harapan-harapan. Aku gendong dengan cinta dan cita-cita. Aku sekolahkan dengan keringat kesepian. Aku temani kalian dengan terkadang putus asa.

Berulang kali kalian sakit. Tentu kubawa ke rumah sakit. Berulang kali kalian menangis. Tentu kuhibur semampunya. Berulang kali kalian pipis dan berak di celana. Tentu saja membuat kutertawa. Aku menikmatinya. Kadang susu habis. Kadang mata terpejam saat kalian ribut meminta jajan. Tak jarang kekurangan melanda. Sering kita menangis bertiga karena susahnya. Kangen bunda kalian yang tiada tara.

Anak-anakku. Kini kita masuk zaman edan. Tanahnya jadi medan kurusetra. Manusianya makin serakah. Penjahatnya berlimpah ruah. Di sekitar tumbuh jumbuh. Berwajah munafik.

Di pemerintahan semuanya bicara kabinet kerja. Tetapi tidak bekerja seperti team Barcelona. Kebanyakan hanya demagog pemuja pasar belaka. Atau cuma intelektual tukang yang kerjanya membela yang bayar. Kadang-kadang sebagai broker pencari komisi. Semuanya piaraan oligarkis dan kartelis.

Kini di negara kita penuh organ kleptokrasi. Kerjanya ngutil sana-sini. Agamanya KKN saja. Jadi, hidup kalian akan lebih berat. Lebih sadis. Karenanya jangan mudah percaya. Kepada siapa saja. Sebab sekeliling kita banjir munafik yang tak bisa dihitung lagi dengan angka-angka.

Saat kalian tak boleh hidup bersamaku, bersama ayah kalian, bersama keluargaku yang baru, aku ingat puisi Kahlil Gibran. Seorang sastrawan besar yang kupunya semua karyanya. Yang juga disuka bunda kalian yang kini di syorga.

Ia mengetik tulisan yang sangat menyentuh. Kelak jika kalian dewasa, coba baca dengan lantang dan resapi. "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu. Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu. Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan. Sang pemanah telah membidik arah keabadian. Mereka meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh. Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan. Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan."

Aksara dan Bintang. Mengingat kalian kini sambil menunggu mati. Sebab beduk maghrib terasa ilusi. Berulang-ulang tanpa revolusi nurani. Aku ayah kalian kangen sekangen kangennya. Selamanya cinta sepenuh jiwa. Di manapun kalian berada. Tinjulah dunia. Tunjukkan bahwa hidup kalian penuh warna.

***

0 comments:

Post a Comment