PERADABAN KEBUMEN - Yudhie Haryono


Tak ada Kebumen tanpa Indonesia. Tak ada Indonesia tanpa Nusantara. Dan, tak ada Nusantara tanpa Atlantik. Karena itu, melenyapkan Atlantik; menghancurkan Nusantara; menundukkan Indonesia tak kan sempurna tanpa menaklukkan Kebumen sebagai pusat grafitasi Indonesia. Kenapa ia (bukan yang lain) sebagai pusat grafitasi? Padanya melekat dua hal: 

  1. Masa lalu yang dahsyat
  2. Kesadaran masa depan menuju peradaban.

Ada apa dengan masa lalu Kebumen? Ada kerja raksasa. Yaitu kesederhanaan akan nalar dan praktik memanusiakan manusia. Menundukkan dunia (bumi) untuk sesama manusia (ka-bumi-an). Kita tahu, jarang orang mau mengakui, kesederhanaan nalar dan praktiknya adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam raya. Karunia yang membebaskannya dari perbudakan. Karunia yang membuat kita bisa lantang teriak berkata bahwa Indonesia bukan negeri budak; Bukan budak di antara bangsa dan bukan budak bagi bangsa-bangsa lain. Teriakan itu lantang karena sejarahnya memang demikian.

Tidak percaya? Ini buktinya. Jika kaum muslim membangun mitos bahwa Nabi Muhammad mendapat wahyu awal di gua Hira, sesungguhnya itu kopian dari metoda turunnya wahyu di Pulau Djawa (panjang: cerdas; lurus). Replikasi dan sejarah wahyu jawa sudah dibentuk alam selama sepuluh ribu tahun.

Keajaiban itu muncul dalam karya nan indah yang menawarkan nuansa lain. Tempat berpetualang di perut bumi, namun santai dan menyenangkan yang terletak 21 kilometer ke arah selatan Gombong, atau 42 kilometer arah barat Kebumen.

Wahyu itu turun di "Gua Jatijajar" yang beneran gua. Beda dengan gua hira yang "dipaksa jadi gua." Gua Jatijajar berada di kaki pegunungan kapur. Tetirah dan objek sakral ini sungguh sangat menarik. Pegunungan kapur ini memanjang dari utara dan ujungnya di selatan menjorok ke laut berupa sebuah tanjung.

Sebagaimana umumnya objek spiritual lain di Indonesia, yang hampir selalu menyimpan mitos, legenda dan pelajaran, Gua Jatijajarpun tak terkecuali. Gua Jatjajar inilah tempat bersemedi Raden Kamandaka, yang kemudian mendapat wahyu. Isinya tentang tugas pembebasan manusia dari belenggu empat ta (tahta, harta, wanita/lawan jenis dan tapa/status quo).

Inilah wahyu yang menjadi "leitstar statis" bagi berkembangnya agama (ujaran-ajaran) Jawa-Nusantara: theoantroekocentris. Agama yang relasi publiknya setara antara Tuhan, manusia dan alamraya. Resiprokal kritis dan menuju peradaban (beradab) dalam kosmologi hibridasi. Inilah cikal bakal negari Ke-bumi-an yang nanti menjadi The Spirit Of Indonesia. Menundukan bumi dan membebaskan penduduknya dari belenggu penjajah langit dan koloni bumi. Coba cek aksara dan angka Nusantara yang penuh filsafat dan tanda plus simbolik. Sungguh, sesuatu yang tak ada di belahan dunia lain.

Sungguh, jika baca dengan teliti, dunia di luar nusantara hanya mereplikasi sebagian dari gagasan Pancasila. Bukan sebaliknya. Makanya ada "arus balik." Eden in the east. Atalata. Mudik untuk bertemu "yang benar dan pener." They part of us not we part of them. Ini ide raksasa, peradaban raksasa sehingga butuh pemikir dan pelaksana raksasa. Dan, yang jelas bukan Joko-Jeka.

Sejarah dari Raden Kamandaka ini kemudian dikenal dengan legenda Lutung Kasarung. Visualisasi dari legenda tersebut dapat kita lihat dalam diorama yang ada di dalam goa itu. Masuk ke dalam gua ini, bagaimanapun ada rasa degdegan. Betapa tidak! Karena merasa seperti masuk ke dalam mulut binatang purba Dinosaurus. Tambah ngeri lagi jika membayangkan gelapnya suasana di dalam perut Dinosaurus tersebut.

Namun rasa cemas itu segera sirna, sebab ruangan diterangi oleh lampu listrik dari ujung ke ujung. Meski mulut gua cukup lebar, namun ruang perut Dinosaurus lebih lebar lagi. Pada langit-langit terdapat sebuah lubang sebagai ventilasi. Di tengah-tengah terdapat kursi melingkar tempat duduk pengunjung sambil menikmati indahnya ornamen stalagtit dan stalagnit serta diorama legendanya. Dari sini teks Alquran soal sorga yang sungainya mengalir di bawah; mata air yg memancar; bidadari-bidadari yang jelita, berasal. Gambaran syorga, persis lahir dari tanah jawa dan paparan sunda.

Maka, dalam goa itu terdapat sumber mata air yang disebut Sendang. Jumlah sendang tersebut ada 4 buah, yaitu Sendang Mawar, Kantil, Jombor dan Puserbumi. Sendang Mawar mempunyai kekuatan gaib yang bisa menghapus nafsu bejat dan membuat seseorang tetap idealis. Sendang Kantil menghapus sifat serakah dan membuat seseorang berkarakter. Sendang Jombor menghapus ketakutan/inlander dan membuat seseorang kuat. Sendang Puserbumi menghapus kesombongan dan membuat seseorang rendah hati, bersahabat dan dahsyat. Keempat mata air ini metoda menghancurkan empat ta.

Karenanya, setiap peziarah selalu menyempatkan diri untuk membasuh muka dengan air seluruh sendang tersebut agar wahyu Raden Kamandaka menitis. Agar ia jadi nabi-nabi agung bagi segala (manusia paripurna, insan Pancasila).

Panjang goa adalah 250 meter, dalam 40 meter. Di area Goa Jatijajar ini juga terdapat beberapa goa lainnya, seperti Goa Intan dan Goa Dempok serta tersedia taman dan Pulau Kera. Berbeda dengan gua Hira yg kering kerontang, mata air dari dalam Goa Jatijajar tiada pernah berhenti walau musim kemarau sekalipun.

Karena itu tuan-tuan, jika baca subtansi Alquran maka kita dapat simpulkan bahwa ia tak mungkin turun di Makkah dan Madinah. Daerah itu terlalu muda dan kering untuk bisa melukiskan peradaban. Diskursus peradaban (setara, spiritualis, berkarakter, syorga dan humanisasi) tak mungkin lahir dari ruang hampa. Dan, jazirah arab tak cukup kuat dalam merepresentasikan itu semua. So, jangan terlalu arabis apalagi ontanis di zaman yang segera berbalik.

Kedua, soal kesadaran masa depan yang menuju peradaban. Kesadaran yang dibangun dari pertobatan atas kejahiliyahan. Kesadaran atas keberaniannya menjadi aktor utama (avant garde) bagi perbaikan dan gotong-royong menjadi warga dunia.

Kesadaran adalah kejujuran, dan kejujuran adalah ketulusan. Dengan itu, kita semua harus menerima kenyataan. Tetapi, menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang; modern; mandiri; maju; merdeka; martabatif.

Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia. Demi umat, demi masa depan, demi masa maka kebaruan adalah niscaya. Tak cukup baru tapi juga ramah pada lokalitas yang bersumber dari sejarahnya. Sebab, tanpa mempelajari sejarahnya sendiri, kita takkan mengenal bangsa kita sendiri.

Maka membangun peradaban mulia dengan menerima kebaruan sambil menggenggam kebijakan dan kebijaksanaan masa lalu menjadi metodanya. Dengan begitu, peradaban Kebumen adalah zaman tanpa ketimpangan sosial, keadaan tanpa kerakusan jabatan dan kultur bergotong-royong berkoperasi dari hari ke hari.

Tegaklah nanti setegak-tegaknya di mana-mana manusia Pancasila yang tidak adigang adigung adiguna. Tetapi selalu "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani" sehingga figurnya selalu menjadi seseorang yang baik-pener, suri tauladan atau panutan yang menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar sekitarnya dapat merasa baik dan besahabat plus bermanfaat di masyarakat yang toto tentrem kang raharjan.

Inilah arus balik yang akan melanda kita semua. Arus bah yang tak bisa digagalkan oleh begundal-begundal kolonial. Sejarah baru bergesernya pusat norma karena kehancuran etik di pusat-pusat kuasa hasil ciptaan kerakusan penjajah. Sejarah kebangkitan karena praktik meletakkan kebahagiaan di atas meja makan kaum miskin agar keadilan jadi milik semua warga nagari.

***

0 comments:

Post a Comment