DARI RESPUBLIKA KE RESPRIFATA - Yudhie Haryono


Sastrawan muda Yulistini Sridem (2016) menulis puisi sangat menyentuh, "Negaraku bertambah buas/dalam senyap saling melibas/terkadang membuatku sulit bernapas."

Mengapa negara makin buas? Karena dihuni elite yang sangat rakus. Di tindakan elite yang rakus, semua mau dimiliki dan diendus.

Di negara yang rakus, publik menjadi prifat; umum menjadi khusus; gotong-royong menjadi gotong-nyolong.

Prifatisasi kekuasaan adalah ciri khas negara postkolonial. Negara yang terlepas dari mulut buaya tetapi masuk ke mulut harimau. Respublika menjadi resprifata. Personalisasi via pesona. Itulah potret negara postkolonial yang menyetubuhi demokrasi liberal. Hasilnya hanya dua anak biologisnya: krisis dan ketimpangan (crisis and social discrepancy).

Krisis adalah metoda kapitalis mengakumulasi kapitalnya. Ketimpangan adalah cara kapitalis mempertahankan kapitalnya.

Beberapa riset menunjukkan bahwa 9 dari 10 negara postkolonial yang mengimani demokrasi liberal, kolap ekonominya karena krisis tak berkesudahan. 8 dari 10 negara postkolonial yang menyetubuhi demokrasi liberal, banjir kaum miskin tak berpreseden dan tumbuh langka konglomerat.

Di sini, nalar publik, mati. Kewenangan negara, defisit. Kewarasan pejabat, punah. Kemerdekaan bangsa, pupus. Warganya paria.


Banjir asap, telenovela MKD, drama papah minta jatah dll jelas menunjukkan bahwa pemerintah (presiden) tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk mengeksekusi setiap kebijakan publik yang bersendi kewarasan publik.

Kewenangan eksekusi ini sudah ditentukan oleh kekuatan korporasi yang membiyayai presiden sebelum dan sesudah berkuasa via pemilu.

Intervensi korporasi dalam kebijakan publik dengan pasti telah menempatkan posisi presiden (sebagai kepala negara) pada keadaan lunglai, loyo dan impoten. 

Kuasa korporasi dalam menjajah-menjarah kewenangan negara telah jauh mengantarkan kehidupan warganegara limbo dan hanya bisa menonton, mengkonsumsi atau paling banter memaki.

Perilaku ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi korporasi agar tetap berdiri dengan gagah dalam penguasaan SDA&SDM. Bahkan untuk menghapus perdebatan-perdebatan subtansi kewarasan warganegara menuntut haknya, kuasa korporat hanya taburkan 0.5% buat media agar beritakan lendir 24 jam non stop.

Nalar publik akhirnya mati berkali-kali. Kematian itu menyebabkan kelumpuhan demokrasi. Dalam demokrasi yang lumpuh, cinta (suci) tak lagi tumbuh penuh seluruh. Negara jadi musuh kewarasan dan bangsa jadi mesin pembunuh kecerdasan.

Cinta, negara dan bangsa makin teralienasi karena menjadi budaknya para budak kuasa kapital semata.

Di resprifata, jiwa dan karakter yang berkembang adalah karakter kolonial; mental begundal; kurikulum penjajahan. Padahal, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral,  ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). 

Ilmuwan besar Yudi Latif (2016) menulis, "sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksitensi seseorang/sekelompok orang, sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”

Apapun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, kekuasaan menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melaikan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa.

Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian “bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa, “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, H.G. Wells, “Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia jawab sendiri, bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas wilayahnya dan sebera banyak penduduknya, melainkan tergantung pada kekuatan tekad, sebagai pancaran karakternya. 

Bagi bangsa Indonesia, karakter kebangsaan itu berjejak pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar, isi hidup dan arah hidup bagi perkembangan bangsa. 

Tantangannya adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan, melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk mengamalkanya dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

***

0 comments:

Post a Comment