"PARADOX OF PLENTY" - Yudhie Haryono


APA arsitektur dan taksonomi ekonomi kita jika melihat data berikut ini? Berdasarkan data Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor migas 70%. Sektor batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%. Sektor tembaga dan emas sebesar 85%.

Sektor perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1% dan lainnya 3%. Sedangkan Pertamina dan mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16%.

Dari total 225 blok migas yang dikelola Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional serta 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan nasional.

Apa jawabannya? Secara teoritis, kita sedang mengalami "kutukan sumber daya alam" (paradoks keberlimpahan) atau resource curse. Apa itu? Adalah tesis soal negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam (sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar) akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Wujud kesejahteraannya lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.

KOK BISA?

Fenomena ini diduga memiliki beberapa alasan, salah satunya penurunan tingkat persaingan di sektor-sektor ekonomi lain (akibat apresiasi nilai tukar asli setelah pendapatan SDA mulai memengaruhi ekonomi); volatilitas pendapatan SDA akibat menghadapi perubahan pasar komoditas global; salah pengelolaan SDA oleh pemerintah, atau institusi yang lemah, tidak efektif, tidak stabil, atau korup (kemungkinan karena sifat arus pendapatan aktual atau terantisipasi dari aktivitas ekstraktif yang mudah sekali dialihkan).

Pemikiran bahwa SDA lebih bisa digolongkan sebagai kutukan alih-alih anugerah ekonomi mulai muncul pada tahun 1980-an. Tesis kutukan sumber daya, pertama dipakai Richard Auty tahun 1993 untuk menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit.

Beberapa penelitian, termasuk oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner (1995), telah memperlihatkan hubungan antara keberlimpahan sumber daya alam dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Ketidaksinambungan antara kekayaan SDA dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat di negara-negara penghasil minyak bumi. Sejak 1965 sampai 1998, di negara-negara industri OPEC, pertumbuhan produk nasional bruto per kapita rata-rata 1.3%, sedangkan di negara-negara maju, pertumbuhan per kapitanya rata-rata 2.2%.

Sejumlah ekonom waras juga berpendapat bahwa arus finansial dari pinjaman asing (FDI) dapat menciptakan dampak yang mirip kutukan sumber daya. Apalagi jika dikelola dengan KKN; bentuknya barang dan orang.

So, hati-hati dengan SDA yang melimpah, utang yang membuncah dan rezim yang mimpi basah, anti program nasionalisasi, anti program ngemplang utang luar negeri, plus anti projek reindustrialisasi.

***

0 comments:

Post a Comment