MENUNGGU KEAJAIBAN - Yudhie Haryono


Mengapa kalian marah? Mengapa kalian demonstrasi? Mengapa kalian ingin revolusi? Inilah pertanyaanku pada mereka yang kini mulai turun jalan.

Ternyata mereka menjawab tegas: karena kita terjajah kembali. Kemerdekaan tenggelam dini. Tujuan dan realisasi proklamasi tak tersaji.

Padahal, tak ada artinya kemerdekaan nasional jika struktur ekonomi-politik kita tak berubah (Hatta: 1946:2). Karenanya, merdeka adalah merubah aksiologi kirim bahan mentah menjadi bahan jadi (Soekarno: 1947:9). Itulah merdeka 100% yang tanpa utang karena investasi SDM dan finansialnya maksimal (Tan: 1947:15).

Merdeka dari ketimpangan dan perbudakan karena produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dari semua di bawah pimpinan anggota warganegara bergantian bersendikan moral dan meritokratif.

Hasilnya, kemakmuran seluruh warganegara diutamakan; bukan orang per orang. Ekonomi-politiknya dengan demikian harus disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kemanusiaan dan homo societus plus koperasi.

Hanya usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh dikerjakan swasta. Selainnya harus dimiliki, dikuasai dan dikendalikan oleh negara demi kemakmuran bersama: seluruhnya.

Tetapi kini, tumbuh 10 konglomerat saat panen 10 juta kaum melarat. Tumbuh 100 sarjana tapi panen jutaan putus sekolah. Tumbuh 10 kota baru tapi panen ribuan desa miskin. Tumbuh 100 Mall dan rumah sakit tapi membludak ribuan pasar rakyat mati dan jutaan warganegara kesakitan tak mampu berobat.

Jadi, tumbuh buat siapa? Bukan untuk seluruh warganegara!

Karenanya, kata kalian kita harus berontak! Bukan soal KKN semata, tapi merasakan arsitektur ketidakkadilan ekonomi.

Data Bank Dunia menyebut bahwa 1% konglomerat hitam menguasai 56,3% kekayaan nasional dan 10% konglomerat hitam menguasai 70% kekayaan nasional (ini data tahun 2017 di mana kita ke-3 paling parah di dunia setelah Rusia dan Thailand dalam hal ketimpangan).

Hal itu dibuktikan dengan rasio Gini pengeluaran/2015 sudah mencapai 0,41 (BPS).

Kok bisa kini berbondong-bondong elite kita mengkhianati Hatta, Soekarno, Tan dkk yang mempertaruhkan nyawanya buat merdeka? Kok bisa kini pejabat kita rabun konstitusi dan buta sejarah? Pendidikan apa yang mereka peluk dan makanan apa yang ditelan perutnya? Kok bisa? Nalarku tak bisa memahaminya.

Kita melihat dan merasakan kegalauan rakyat seperti yang dapat disaksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil, dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial.

Gejala apa ini? Pimpinan nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan mereka justru merebak sementara oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Saat bersamaan, elite ilmuwan kita hanya ada tiga: 

  1. Ilmuwan pencari uang; 
  2. Ilmuwan pembela orang; 
  3. Ilmuwan peneguh nilai.

Dan, dari ketiganya, yang terbanyak adalah ilmuwan pencari uang dan pembela orang. Bukan ilmuwan yang meneguhkan nilai-nilai.

Selebihnya mungkin, hasil penelitian di bawah ini jawabannya. Riset kami tentang kwalitas negara via "kerja vs bicara" menghasilkan 4 tipologi negara: 


  1. Negara sedikit bicara dan sedikit bekerja: Mozambik, Uganda, Angola, Nigeria.
  2. Negara sedikit bicara dan banyak bekerja: Jepang, RRC, Singapura dan Korsel.
  3. Negara banyak bicara dan banyak bekerja: Inggris, Kanada, Jerman, Amerika Serikat.
  4. Negara banyak berbicara sedikit bekerja: Yunani, Siprus, Mesir dan Malaysia.

Di mana Indonesia? Ternyata negara kita tidak masuk di tipologi mana pun karena "lain yang dibicarakan lain yang dikerjakan" dan "lain yang dipelajari lain yang diujikan."

Karena ada gap antara yang dibicarakan dan dikerjakan, kini kita menikmati kerawanan sosial. Itulah keresahan sosial yang berkepanjangan dan diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat dan pendapatan rakyat, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan mereka.

Kini memang ketidakpuasan masih dalam eskalasi aman sehingga hanya diperlukan tindakan pencegahan. Tetapi jika telat dan salah diagnosa, akibatnya luar biaasa. Menimbulkan luka yang berkepanjangan.

Sebab kerawanan sosial dapat terbentuk dalam berbagai macam seperti kerawanan ekonomi, politik, sosial budaya, ideologi, hankam dan hukum. Yang selanjutnya menjadi kerusuhan sosial dan berujung pada revolusi sosial.

Tanpa kurikulum, tanpa keteladanan, tanpa tujuan bersama itulah kita kini. Tanpa kemerdekaan, kedaulatan, kemandirian dan kemartabatan bersama itulah prestasi kita kini.

***

0 comments:

Post a Comment