KANVAS KEMAKMURAN - Yudhie Haryono



Bagaimana gambar mutakhir kemakmuran Indonesia? Jauh. Makin menjauh dari keidealan. Singkatnya, masih buram. Tak menjadi program unggulan. Tetapi, apakah kita harus diam? Adakah bedanya hanya menunggu dengan tanpa mengkanvas lukisan? Kukira, sama-sama kosong. Melompong. Gugun. Sesal di kemudian.

Maka, agar ada hasil, kita harus coba tuang ke dalam kanvas dengan garis dan warna-warni yang kita ingini; kita rindui. Kita harus terus melukis; terus menghibridasi; terus berlari. Mengejar yang belum pasti agar ada kepastian.

Taukah kalian. Dengan beberapa pertanyaan. Apakah ada bedanya bila mata terpejam? Apakah ada bedanya bila fikiran jauh mengembara, menembus batas langit, melampau zaman ganjil seperti hari-hari ini? Pasti ada. Mengapa?

Sebab cita-cita kemakmuran telah membakar jiwa kita; menumpuk pondasi semangat bekerja. Harum aroma kesuksesan membebaskan kepala dan fikiran kita untuk berkreasi. Selalu. Seirama alam raya: meneguhkan kemenangan.

Mari kini kita menggambar. Mari kita kuas jejak bumi manusia. Mari kita potret rumah kaca kemanusiaan plus keindonesiaan. Kita pahami bahwa di bumi yang berputar pasti ada gejolak; banyak pemberontak. Saling sikat sikut. Lupa gotong royong. Praktik gotong nyolong.

Tetapi terus pahami. Nikmati dan ikuti saja iramanya, isi dengan rasa, pecahkan dengan nalar semesta. Bahwa, semua akan indah pada waktunya: di situ ada usaha maka di situ ada jalan plus solusi.

Seringkali memang di menara langit halilintar bergetar. Sambar bakar kehidupan kita jadi penuh paria. Sehingga kadang kita merasa tak terlindung. Lalu, kita terbakar kegetiran. Menangis segugukkan. Tidak tak terperikan. Lahir jejak dada yang terluka, duka yang tersayat, rasa yang terpapar derita. Dan, tak satupun saudara dan sahabat mengerti. Apalagi peduli dan empati.

Saat kita hidup dengan semilyar kemalangan, sadarlah bahwa di negara para budak, pemimpin tak mungkin mundur walau salah dan jahat berulang-ulang. Karena itu, jika ingin tahu keadaan sebuah negara-bangsa, maka lihatlah pemimpinnya. Kalau ia pembohong, curang, kejam dan zalim maka begitupula rakyatnya. Begitulah potret kita yang sesungguhnya.

Lalu, apa kanvas kita ke depan? Bagi yang masih waras, hidup harus disandarkan pada “prinsip harapan." Sebab, hidup yang setengah-setengah selalu tak berbuah. Harapannya untuk Indonesia, yang pertama-tama tentu saja memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya: “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa." Yang kedua, gotong-royong mencipta dan mencapai kemakmuran bersama.

Harap yang ketiga adalah melampaui ras dan klan menjadi Indonesian. Yang keempat, menjadi Indonesia karena ide dan praktik perlawanan semesta pada penjajah dan warisannya: fasisme dan rasisme yang mengkangkangi kemakmuran milik warga semua.

Sebab itu, ijtihad dan jihad hari ini adalah menuntaskan problem utama ummat: kemiskinan, kebodohan, kepengangguran, ketimpangan, kesakitan, ketergantungan, keterjajahan, kekalahan dan kejijikan (9K). Dan itu tak cukup dengan doa, ziarah plus tahfid kita-kitab suci. Harus lebih meraksasa. Panjang. Full power. Bernas. Bernalar. Dari setrilyun pintu, demi kanvas baru untuk melukis lebih terpadu.

***

0 comments:

Post a Comment