SURAT KEPADA KAWAN - Yudhie Haryono


Aku selalu tergagap dengan sapamu. Hadirmu menjarah masa depanku. Jiwamu menghapus ejaan masa laluku. Akalmu melambatkan waktu kiniku. Tapi, ingin kufatwakan padamu bahwa betapa jahil menikmati sisa umurmu dengan orang yang menyakitimu di semua tempat dan waktu. Itu bagai keadaan yang lapuk membatu.

Kawan. Aku menyanyi untukmu. Lagu karya Gesang berjudul Jembatan Merah. Dengan syahdu dan tak merdu. Kecuali rinduku padamu.

Jembatan merah/Sungguh indah/Berpagar gedung megah/Sepanjang hari yang melintasi/Silih berganti/Mengenang susah hati patah/Ingat jaman berpisah/Kekasih pergi sehingga kini/Belum kembali/Biar jembatan merah/Seandainya patah/Akupun bersumpah/Akan kunanti dia di sini/Bertemu lagi.

Kawan...
Keadilan itu dipraktekkan.
Kebahagiaan itu dibagikan.
Kesejahteraan itu dirasakan.
Kebijaksanaan itu diperlihatkan.
Sayang semua kini zonk. Minus.

Kawanku. Tak pernah aku bisa mengisahkan betapa menakjubkannya rinduku padamu. Kini aku bisa menjadi kekasihmu; tak bisa jadi pengkhianatmu. Aku bisa menjadi temanmu; tak bisa jadi begundalmu. Aku bisa jadi pacarmu; tak bisa jadi musuhmu. Aku bisa jadi sahabatmu; tak bisa jadi perampokmu. Walau kutahu kau tak pernah jatuh hati padaku. Tak pernah jatuh cinta. Tak pernah merindu. Tak punya kangen. Kau tuli buta dan bisu. Padaku. Terutama pasca dirampok oleh elite-elitemu.

Kawan. Kau mesti tahu. Ilmuwan di Indonesia dinilai "cuma" seharga piagam yang dipigura. Inilah sebab utama ilmuwan kita berkhianat membela pengkhianat. Ilmuwan independen yang kritis menjadi defisit. Rakyatlah yang telah membunuhnya. Aku adalah contoh kongkritnya.

Kawan. Masih ingatkah paragraf terakhir dari buku Sejarah Tuhan yang ditulis Karen Armstrong? Kalau lupa, kini kubagi karena menarik dan simpatik, "manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan lokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad baru. Kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan (hal. 510)."

Kawan. Sungguh hidup di antara kaum miskin ilmu dan defisit pengetahuan adalah hidup di neraka. Maka, di negara para budak, pemimpin tak mungkin mundur walau salah dan jahat berulang kali. Dan, menemukan ilmu dari masa lalu ibarat menemukanmu yang mendukung revolusi. Inilah pesan lekuk gurindam dua belas yang keren dan dahsyat sepanjang hayat seperti aroma Ken Dedes yang mulia bak ketupat padat: kaki plus anunya.

***

0 comments:

Post a Comment