Cerpen Sore "HANTU DI KEENTAHAN" - Yudhie Haryono



Engkau pasti tak tahu. Tak ingin tahu. Bahwa kini aku terkapar lemah. Mata nanar tak tentu arah. Ditikam rindu yang menggebu. Engkau tidak akan peduli. Tidak mengerti.

Bagaimana tiba-tiba ketikan puisiku deras dan banjir. Mengobati sepiku yang kering. Mengobati lukaku yang bening. Sebab menghadapi cuekmu adalah kisah terbuka. Ada di semua rasa. Pertempuran semu. Peperangan bratayuda. Bukan kopasus; bukan kopasanda. Yang jelas aku merdeka. Tapi hanya kemerdekaan tiada cinta apalagi rindumu.

Wahai mentari. Mukjizat tak terperi. Putri dari segala bidadari. Perempuan teragung yang pernah kunikmati senyum angkuhmu. Juga sedikit waktumu saat itu. Engkau tak akan mengerti segala lukaku, dukaku, perihku, tangisku, doa dan harapku. Tak mau tahu. Tak akan sudi. Sebab telah engkau pilih takdirmu. Dengan lancang dan lugu. Terlebih rindu dan cintamu telah disembunyikan pisaunya, cakar-cakarnya.

Maka, membayangkan bokongmu saja kini jadi siksaan tanpa jawaban. Kerinduan tanpa pegangan. Kebosenan tanpa ujung. Kekangenan yang lapuk terbang ke got comberan busuk. Mati sebelum mati. Hidup tak bermakna. Perjalanan jadi mubazir adanya. Tanpa gila takdir.

Kasih, taukah engkau, ketika kiyamat hanya mitos para keparat. Ketika agama hanya ilusi para durja. Ketika hukum hanya igauan para alim. Sesungguhnya waktu tinggal sampahnya. Maka, jadilah nanti orang benar di tempat salah dan orang salah di tempat benar. Sempurna sudah kita hidup di zaman penjajah.

Dalam dekap keterjajahan inilah sepiku memuncak. Sebab kesepianku adalah ketakutanku dalam kelumpuhanku. Dalam ketiadaan energi. Menggelinding menikmati duri. Merayakan sakit tak terperi. Menghabiskan air mata dan darah kehidupan usia senja.

Dalam derap kreta sekarat uzur, engkau pun kini telah menjadi racun bagi darahku. Racun bagi cita-citaku. Racun bagi rindu dan matiku. Apabila aku berteriak, itu teriakan di dalam kangenku dan sepiku.

Apabila aku menangis, itu berarti aku bagaikan tangisan tungku tanpa api. Bagai malam tanpa pagi. Bagai sajadah tanpa si sujud. Bertepuk sebelah kaki. Merayakan takdirnya yang sering misteri. Karena akal dan rasa, terbatas adanya. Walau mereka anak-anak raja. Bahkan keturunan setan sekalipun.

Semilyar bulan purnama lalu, dunia purba. Saat bertemu, engkaulah bentuknya. Manusia yang menjumput bahagia lewat sedihnya.

Kasih, taukah engkau? Jika ada ide yang bergerak melebihi gagasan awalnya, itulah neoliberalisme. Jika ada istilah yang bercitra indah melampaui fakta aktualnya, itulah demokrasi.

Jika ada gagasan yang berdentum keras melampaui harapan pencetusnya, itulah revolusi kaum muda. Jika ada perempuan buta yang menolak bahagia, engkaulah argumentasinya. Tak mau lelaki dengan hapalan 30 jus, apalagi bulan madu di Tajmahal dan Sevilla.

***

0 comments:

Post a Comment