Cerpen Selasa, "LALA DAN TERNAK KERINDUAN" - Yudhie Haryono



"Pacarku pilot," begitu biasanya kawanku membuat distingsi dari sekian profesi di multikulturalnya dunia ini. Tentu ia ganteng, atletis dan digemari ibu-ibu. Itu yang membuatnya tak ingin menikah. Cukup jadi pacar yang bisa saling menikmati di kala susah. Cinta pasti punya daya saling pagut. Terutama ketika menemukan bibir kekasihnya cemberut. 

Mengetik sejarah pilot itu gampang-gampang susah. Seperti mengetik sejarah berdirinya sebuah negara yang kerapkali nampak tak berhubungan dengan gagasan awal cita-cita para pendirinya. Pencarian dan pertarungan ide-gagasan seringkali hanya di parkir di hati setelah terdesak kepentingan busuk para elitnya. Maka, banyak kawan pilot yang menjadi pilot bukan karena sejak remaja ingin menjadi pilot. Ia, profesi tak sepurba romo dan kyai di bangku dan fakultas agama. Tetapi, itu jenis manusia yang sangat ditunggu dan dikangeni. Terutama oleh calon penumpang yang menunggu di bandara saat mau terbang.

Kerinduan itu kini sedang terjadi. Kembali. Dan, kembali. Merindukan perjalanan atau kesejahteraan? Entahlah. Sebab makin hari makin tak pasti rezim ini merampok warganya. Mewariskan utang yang demikian gendut tapi menghapuskan semua subsidi. Padahal, subsidi itu tugas konstitusional sebuah negara.

"Kami pacaran setiap bulan," kawanku bicara seperti mengutarakan gerak deklamasi. Karena tiap bulan, kerinduan sering tak terpenuhi. Ya tak terpenuhi. Seperti tak terpenuhinya hak-hak warga yang asasi. Kita tahukan bahwa negara harus mewujudkan fasilitas yang layak sesuai standar kemanusiaan dan kewargaannya?

Maka, kebutuhan primer seperti bahan makanan pokok, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan harus ada dengan pasti dan terjangkau. Pembangunan fasilitas umum seperti jalan, listrik, sekolah, rumah sakit harus terus menerus dan terbeli. Jika tak terjangkau dan tak terbeli, rezim pasti mengkhianati konstitusi.

Dari mana uangnya? Ya dari pajak, cukai dan pendapatan lainnya yang besar itu untuk menciptakan masyarakat yang adil makmur sehingga kesenjangan sosial menjadi punah dan kemiskinan dapat segera kita habisi.

Sayang. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah pembangunan masih hanya berlandaskan pada kepentingan pemilik modal dan konglomerasi. Contohnya pembangunan supermarket besar yang dimiliki perusahaan besar tanpa memikirkan pasar tradisional yang menghidupi masyarakat miskin. Lalu ditambahi mini market yang mematikan warung kecil. Kondisi seperti ini adalah contoh ketidakseimbangan yang terjadi dan pasti menyebabkan kesenjangan sosial dan kemiskinan makin meraja-lela.

Kemiskinan tumbuh. Ketimpangan akut. Ketidakmerataan terjadi. Kesemrawutan hadir setiap hari. Inikah hasil aku pancasila dan aku indonesia? Mohon jangan tertawa. Aku serius bertanya. Mana janjimu, mana komitmenmu?

Lala. Dalam negara Pancasila yang cerdas terdapat agama publik yang multikultural. Dan, dalam agama publik yang multikultural terdapat ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Serta, dalam ilmu pengetahuan yang mencerahkan terdapat mental merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Inilah mental konstitusional yang anti kolonial: menghancurkan warisannya--oligarkis, kleptokratis, kartelis, fundamentalis, fasis dan predatoris. Adakah kerinduan kita sudah sampai ke sana?

Maka, merindukan pilot mestinya seperti Indonesia yang hakiki. Kerinduan atas sikap menternakkan kesejahteraan dan keadilan buat semua sambil mengingat Ali bin Abi Thalib yang berkata, "jadilah seperti akar yang tak terlihat, tapi tetap menyokong kehidupan. Jadilah seperti jantung yang tak terlihat, tapi terus berdenyut setiap hari setiap saat hingga membuat kita terus hidup sampai batas waktu berhenti."

Tetapi kini, setelah pendiri republik kita pergi mati. Sepi. Nyenyet dari realisasi proklamasi. Kita seperti sendiri setiap hari, pasca penjajahan lima kali. Bahkan sudah paria di lumbung padi.

Tuhan, dalam sujudku kini menunggu para pemberontak yang mati di taman hati. Bagai menunggu ajal yang susah kembali. Merekalah para pendiri republik. Kumpulan pahlawan yang lebih layak dirindukan.

***

0 comments:

Post a Comment