SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT - Yudhie Haryono



Judul ketikan ini dikutip dari frasa dalam pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Rakyat yang mana? Seluruh warga negara Indonesia. Tanpa pandang bulu. Bukan pribadi-pribadi dan golongan. Tetapi ada yang dikhususkan sehingga didahulukan, yaitu yang yatim-piatu, cacat, kekurangan dan terpinggirkan.

Makmur yang bagaimana? Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan bahwa kalimat “sebesar-besar kemakmuran rakyat” harus dimaknai dalam empat tolok ukur yaitu:
  1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
  2. Pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;
  3. Partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam;
  4. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Negaranya siapa? Adalah negara rakyat Indonesia yang diisi oleh agensi di tiga posisi: eksekutif, legislatif dan yudikatif yang bergotong-royong menjadi panitia kesejahteraan rakyat.

Dikuasai itu seperti apa? Tentu, makna penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta terhadap sumberdaya alam (SDA) tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah (berupa: kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan) tetap terpenuhi secara clear and clean.

Rakyat pasti paham, ke manapun mereka pergi, bayang-bayang kemakmuran mengejar. Bersembunyi di manapun, kemakmuran tak selalu ditemukan. Demi pertimbangan tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah menempatkan rakyat secara kolektif sebagai subjek.

Subjek ini kemudian memberikan mandatnya kepada negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Rakyat pasti merasa. Ada yang tak mampu mereka lupa. Kemiskinan dan siksa di zaman penjajahan. Penjara karena kritis di zaman kemerdekaan. Nasib yang meremang kala rezim berganti tetapi kehidupan tak membaik. Ketika pilpres tiba, tak tahunya bukan kemakmuran yang datang menjelang.

Karenanya, orientasi mewujudkan kemakmuran perlu diarahkan pada tiga hal yang merupakan satu kesatuan yang utuh, yaitu: 1)Mewujudkan keadilan sosial di mana saja dan kapan saja; 2)Meningkatkan efektifitas, kejujuran dan pemerataan ekonomi yang cepat dan tepat; dan 3)Pelestarian lingkungan dengan pola penggunaan tanah, air/lautan dan udara yang berkelanjutan plus ramah lingkungan.

Dengan demikian, setidaknya tersedia landasan atas apa yang dimaksud sebagai sebesar-besar kemakmuran rakyat secara lebih konkrit dan riil melalui apa yang ditentukan dalam kehidupan undang-undang kita dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menyusun ketentuan terkait dengan target sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kemakmuran bersama akan jadi mimpi karena banyak hal. Pertama, sistem imperialisme yang tidak selesai sehingga melahirkan politik divide et impera, yakni politik pecah-belah. Imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan sama: “Verdeel en heers:"  pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, imperialisme menguasai negara lain.

Kedua, membuat Indonesia menjadi bangsa terbelakang, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan kebudayaannya. Caranya, salah satunya, adalah penghancuran fikiran-fikiran (akal budi) rakyat.

Ketiga, menanamkan mentalitas inferior (inferiority complex) alias mental inlander di kalangan rakyat, agar rakyat kehilangan kepercayaan diri dan takluk-tunduk terhadap penjajah. Di mana pun imperialisme selalu berusaha menutupi maksudnya, bahkan menciptakan teori manis untuk mencapai tujuannya.

Keempat, imperialisme selalu berusaha menyakinkan rakyat jajahan bahwa ada persamaan kepentingan antara mereka dan rakyat jajahan. Dan, untuk mengikat hati rakyat jajahan, mereka menyerukan perlunya “asosiasi politik” bersama.

Di lapangan ekonomi, kaum imperialis selalu berpropaganda bahwa kehadiran mereka membawa keuntungan, seperti  adanya industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain.

Mereka juga berpropaganda bahwa penanaman modal asing, yang notabene satu bentuk imperialisme modern, sangat menguntungkan negara jajahan. Sebab, penanaman modal asing menghasilkan pembangunan, pembukaan lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, dll.

Karenanya, Bung Karno menyebut kulminasi kita dalam bernegara merdeka itu tiga hal: adil, makmur, bermartabat. Bung Hatta menyebut bahwa pemerintah adalah panitia kemakmuran rakyat. Tan Malaka mengatakan akal merdeka menuntun kita berbagi dalam kemakmuran. Jendral Soedirmam berfatwa bahwa kemakmuran harus dicapai dengan gerilya dan cinta negara.

Dus, jika kemakmuran makin hilang, rasanya kita perlu merenungi kalimat bijak, "Zaa alhaq wa jahaqal bathil. Innal baatila qana jahuka". Ketika datang kebenaran maka pasti kebathilan akan sirna. Maka bersiaplah untuk memenuhi barisan guna menegakkan kebenaran dan keadilan. Kita lawan para perampok oligark yang telah menumpuk harta secara haram sehingga warga lainnya paria.

***

0 comments:

Post a Comment