NGAKUNYA PANCASILA PADAHAL BEGUNDAL NEOLIBERAL - Yudhie Haryono



Wahai warga negara Indonesia yang miskin. Derai airmata kalian bagai irisan perih yang membasahi hatiku. Betapa berat batu ujian kalian. Isak lirihmu bagai sesak yang menggulung jiwa. Betapa luas cobaan penderitaan kalian. Kini, doa tersampaikan terbata-bata dalam duka mengalir tanpa suara. Betapa tegar hati kalian saat semua ganti harga: tak terkejar isi dompet dan tak tertolong para dewan kampret.

Wahai kalian yang lemah. Jika agama tak menghasilkan kasih sayang sesama, kalian membutuhkan agama baru. Mirip agama kasih yang dikreasi Yesus guna mengganti Yahudi. Jika negara tak menghasilkan kesejahteraan dan keadilan, kalian membutuhkan negara baru. Mirip negara Madinah yang diciptakan Muhammad guna mengganti negara jahili. Jika kepemimpinan tak menghasilkan kepastian martabat, kalian membutuhkan pemimpin baru. Mirip kehadiran Soekarno yang mengganti model kepemimpinan gubernur jendral Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer. Si begundal itu.

Problemnya, kini kita sedang berhadapan bukan dengan salah satunya tapi tiga skondan keburukan sekaligus: "agama jahil, negara oligark dan pemimpin lugu." Persetubuhan tiga skondan yang menghasilkan prestasi besar tak berpreseden sebelumnya: kemiskinan meningkat, ketimpangan menajam, ketidakadilan mentradisi dan kejahatan membuncah. Aparatusnya makin begundal.

Inilah delusi negara liberal. Delusi atau waham adalah keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat. Diyakini tapi tidak memiliki dasar dalam realitas; kepercayaan yang bersifat patologis (penyakit) sehingga harus disembuhkan.

Itulah ilusi negara pasar. Ilusi berasal dari bahasa latin yaitu illusio; illudere yang bermakna mengaburkan dan menyesatkan. Sikap salah tafsir dari indra terhadap pengindraan sekitarnya.

KINI TAK ADA PENJELASAN LEBIH SAHIH DARI KEBERADAAN NEGARA NEOLIBERAL. 

Satu paham yang ilutif dan sudah dibunuh pada proklamasi 1945 oleh para pendiri republik. Tetapi, ia satu ordo yang kini diimani kembali oleh para begundal lokal. Para begundal itu tidur di istana, mabuk dengan para konglomerat hitam dan muntah kekenyangan uang rampokan APBN plus menandatangani hutang menumpuk seperti kerupuk.

Sebab, persis pada sejarah kini, yang terjadi mata sebagian besar rakyat bengkak. Air matanya habis. Kesedihan apalagi yang tersisa di wajah mereka? Makin hari, terlihat ribuan orang tak punya rumah. Tersaksikan puluhan ribu orang tak bisa makan. Terperhatikan jutaan pengangguran tak bisa bekerja.

Tapi elite hanya bisa memaki dan korupsi. Maka air mata apalagi yang bisa kita tumpahkan? Kesedihan apalagi yang kita kandungkan? Mestinya elite memberi mereka solusi melalui dentuman besar; kerja raksasa. Revolusi Jiwa. Revolusi Total. Sebab negeri ini terlalu kaya jika hanya untuk selesaikan masalah agama, negara dan kepemimpinan.

Sebaliknya, ini hanya soal ketersesatan jalan ekonomi-politik saja. Tapi, harus disadari bahwa makin jauh kita tersesat maka makin jauh kita dapati ketercerahan jalan. Sebab ketersesatan itu memabukkan. Apalagi jika tersesat kaya saat selainnya miskin. Tersesat pintar saat selainnya bodoh. Ya. Inilah yang sedang terjadi.

Karena itu, "hapalan teks, kapital dan cita-cita masa depan" itu palsu jika tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan krisis hari ini. Sebab di masa depan kita pasti mati. Apa artinya teks, kapital dan cita-cita masa depan (eskatologis/akhirat) jika tak berguna menundukkan badai dan ombak yang demikian besar menghadang warganegara?" Itu artinya, kuasa itu bisu tuli dan buta. Atau, kuasa ilusi dan delusi. Mimpi para pecundang.

Masih belum paham juga? Mari kita lanjutkan. Joseph E Stiglitz (2014) bertesis, "kebijakan pemerintah harusnya bukan hanya menjadi wasit tetapi juga menentukan kesejahteraan warga negaranya. Di negara yang pemerintahnya absen, sebaiknya warga negara menciptakan pemerintahannya sendiri demi memastikan kesejahteraan hidupnya." 

So, mari sadarkan Jokowi agar mengerti kondisi dan problem-problem negara! Caranya, kita mulai dari usaha tanpa kenal lelah. Yaitu merevolusi mitos kuno, logos kuno dan etos kuno menjadi mitos, logos dan etos baru. Dalam 3 yang lama isinya adalah "gagasan lama berselubung feodalisme dan fasisme."

Dalam mitos kuno hiduplah nilai-nilai senioritas dan kejahiliyahan. Dalam logos kuno hiduplah nilai-nilai prosedur dan birokratisme. Dalam etos kuno hiduplah nalar budak dan ilusi. Ketiga paradigma kuno ini harus diganti dengan arsitektur baru yang cerdas berupa mitos baru: muda dan inovatif. Logos baru: subtantif dan progresif. Etos baru: merdeka dan konstitusional.

Inilah kurikulum pembudidayaan revolusi kebudayaan demi trias revolusi kini dan masa depan. Di tangan kaum muda, nalar, dan konstitusional maka nusantara bukan hanya jaya tetapi juga "raya." Dengan gagasan raya maka ekonomi politiknya menomorsatukan semua warga negara miskin, terpinggirkan dan kalah agar merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

***

0 comments:

Post a Comment