PERADABAN ABU - Yudhie Haryono



Hidup kita kini hidup di zaman kalabendu. Di zaman gila, semua kewarasan tidak berharga; semua kenalaran tidak ada. Sudah lama kita semua tersesat dalam logika pembangunan yang menyembah pertumbuhan, menuhankan utang dan beriman pada prifatisasi. Tak seorang presidenpun mampu merubah haluan sesat itu. 

Maka kini, pemimpin yang pancasilais itu adalah pejabat yang menghindari masalah sambil menciptakan masalah serta mewariskannya! Akhirnya yang serakah yang menjajah. Yang kereng yang menang. Yang jahat jadi pejabat. Yang bajingan mudah mangan. Tak percaya? Mari kita cermati pikiran, pidato dan tindakan sekitar elite Indonesia.

Mereka berfatwa, "aku Indonesia, aku Pancasila." Aku, bukan kita. Individu, bukan bersama. Norma individualistik, bukan norma bernegara.

Maka, jika cara elite berpancasila adalah berindividual; berabu; berdebu, tentu belum mengerti makna pancasila. Sebab, berpancasila itu bersama, bergotong royong, bernegara, berperadaban.

Apa akibatnya? Saat bernegara merasa berindividu, bukan bersama. Saat berperadaban melakukan praktik keluargaisme, bukan seiya sekata dalam semua. Kaya sendiri. Kuasa sendiri. Jaya sendiri. Coba lihat cara mereka menangani kebijakan publik.

Rasanya, kita harus sadar dulu bahwa hilir dari neoliberal hari ini adalah soal kurs. Setelah negara-negara kolonial dengan rakusnya memperkosa SDA dan SDM maka cara menstabilisasi kuasanya adalah dengan menciptakan kurs sebagai alat kolonial baru. So, bekerjalah dan jualah sesukamu, kubeli dengan semauku: inilah kredo jahat neoliberal. Maka sekaya (SDA) dan sepintar (SDM) dirimu tetap dalam genggamanku.

Lihatlah kini, TKI/TKW adalah takdir baru yang rela meninggalkan keluarga demi "nilai lebih mata uang tertentu terhadap rupiah."

Dalam teori ekopol Pancasila, kita melawannya dengan teori kemandirian ekopol. Salah satu cabangnya "daulat mata uang." Rupiah harus tunduk dalam kinerja negara dan dalam rangka memanusiakan manusia. Karena itu intrinsik dan ekstrinsiknya harus sama. Ia alat tukar bukan alat yang lain. Karena itu, mata uang apapun dan dari manapun nilainya sama saat masuk teritorial negara (Indonesia). $1=Rp1 sebagai misal.

Soalnya adalah presiden dan menkeu serta gubernur BI gak paham. Gak mengerti kedaulatan. Bahkan mereka bagian integral dari neoliberal. Maka, rupiah ambruk adalah biasa dan disengaja. Kini, kita harus menemukan jalan keluarnya bukan?

Membincang republikmu seperti menulis kangen dan rinduku. Betapa sulit tak menulis surat cinta buatmu. Walau kutahu tak mungkin kau baca. Sebab matamu buta. Tak mungkin kau tanggapi. Sebab nalarmu bisu dan tuli. Bagimu, aku dan tulisan-tulisanku hanya aksiden selintas. Manusia tak penting di zaman tak genting.

Kini. Besok. Atau entah suatu hari nanti. Jika hatimu lapang. Aku mimpi, kita duduk di tepi pantai. Kau bercerita pengalaman-pengalaman spiritualmu, riset-risetmu, demonstrasi-demonstrasimu. Aku dengar dengan riang dan khidmat. Sambil memandang ombak di lautan yang kian menepi. Sambil kunikmati sisa senyummu yang hampir punah setrilyun tahun lalu. Sambil kubacakan sajak-sajak Rendra buatmu. Sambil kutepuk pinggangmu. Bukankah mimpi tak selalu menipu?

Sementara, burung-burung ababil terbang kian kemari. Memberi contoh bagaimana pacaran yang benar. Sambil bermain begadang di derunya ombak. Dan luasnya padang pasir. Terdengar suara alam syahdu yang hangatkan jiwa kita: nalar dan cita-cita. Para pencari Tuhan dan ilmu. Pengembang peradaban.

Kasih. Aku kangen padamu. Kangenku bagai sinar surya sepanjang masa. Sepanjang pagi. Tapi rasamu perlahan mulai tenggelam di dasar samudera. Lebih dalam dari dasar Atlantik asal muasal peradaban Nusantara.

Kasih. Aku merindukanmu. Sebab suara hatimu mengalunkan melodi tentang cinta ilahi. Cinta qurani. Tapi kutahu kau tak ada hati yang membara erat bersemi padaku. Apalagi berjuta getar seluruh jiwa. Ya. Jiwamu tak bisa lagi tercurah saat itu untukku. Sebab kini jiwa ragamu mati sebelum mati. Bersama rembulan dan sinar mentari di langit tak terjangkau lagi. Engkau bagai hantu yang perih. Bukan air yang jernih. Bukan laut bagi sungai Serayu.

Kasih. Kuharap persahabatan ini selalu tumbuh. Berkembang lestari. Tidak cepat berlalu. Sebaliknya ingin kuingat selalu. Sepanjang hidupku. Sebab hatiku berdegup damai. Jiwaku tentram berkalang kerinduan di sampingmu: bersamamu. Walau jiwamu membatu. Hatimu membisu. Tanganmu beku. Dan tak pernah merindukanku apalagi mencintaiku. Kaulah indonesiaku. Negeri elok yang menolak gemah ripah loh jinawi.

Saat menolak makmur bersama, kita bisa bertanya sedih, "Apa masih ada moral dan etik di antara kita?" Aku sangsi. Di tengah sangsi itu, kurindu percakapan yang mencerahkan soal kondisi ekonomi, ketimpangan, keadilan, kebebasan, kemakmuran di antara kita saat bernegara.

Aku tahu persis piring makananmu dari para taipan dan begundalnya. Tapi kau tidak tahu bahwa para taipan itu merampok pribumi dengan bantuan wereng coklat, virus doreng dan seragam hitam.

Aku tahu napas buatanmu dari para tengkulak yang berniaga haram (prostitusi, judi, narkoba, sogok). Dan, untuk menutupi borokmu, kau serang agama pribumi, mental warganegara dan tradisi keluarga. Sebagian kawanmu membuat isu-isu ecek-ecek bhineka dan pancasila. Padahal intinya mengemplang pajak dan mengatur istana.

Aku tahu yang tak kau tahu bahwa gaya rezim yang melakukan perlindungan habis-habisan dengan berbagai cara terhadap kelompok bisnis asing-aseng sebenarnya hanya pengulangan dari cara-cara yang dilakukan oleh kolonialis-kumpeni Belanda dalam proses penjajahannya di Indonesia.

Aku tahu bahkan bajumu juga disogok kaum begundal kolonial. Lalu, kau buat keributan dan menyodorkan undang-undang perlindungan perampok atas nama demokrasi.

Kutahu apa yang kau ingkari. Bahwa, ilmuwan jenius, mencari solusi revolusioner. Ilmuwan tukang, melacurkan diri dan pengetahuan. Ilmuwan kolonial, membela yang bayar.

Pengetahuanku dari studi postkolonial. Itu modalku menantangmu duel seru. Kan kutikam mati persis di jantungmu, walau nanti aku dikutuk santri pembelamu karena recehan yang kau tabur di pondok-pondok dan madrasah mereka!

Indonesia. Rinduku padamu meledak-ledak di antara subuh dan maghrib. Sesekali muncul bagai bara dalam hati saat isya dan dukha. Menerjang-terjang.

Tetapi, engkau tak paham. Kau tak mau mengerti. Engkau menaruhnya di antara kuburan, peti mati, mikhrab dan tanah gersang. Sejak kemari, engkau mengelola negara kita dengan mencari sensasi, inilah maqom pejabat pemerintahan di era liberal yang tak pernah ingin baik, tak rindu bijak.

Karena itu merindukan Indonesia, seperti kerinduan pada keinginan. Seperti ketikan Djaya Siahaan (Ciganjur, 20/06/2017). "Indonesia, inginnya sih bangsa dan negara ini maju seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini makmur seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini sejahtera seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini cerdas seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini hebat seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini sehat seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini canggih seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini super seperti bangsa-bangsa lain. Tapi apa hendak dikata, hanya sebatas ingin belaka."

Tetapi, hidup di kalabendunya Indonesia pada akhirnya adalah, perjuangan manusia melawan penjajahan, perjuangan manusia melawan kesepian dan perjuangan manusia melawan kebodohan. Tak lebih. Tak kurang.

***

0 comments:

Post a Comment