Cerpen Rabu, KEPADA HANTU - Yudhie Haryono



Apa lagi yang bisa kuteteskan? Saat kutahu kedua orangtuanya telah lama tiada. Punah tertelan bencana. Juga, ibu angkatnya telah lama mati ditelan penyakit yang tak tersembuhkan. Ujian hidup datang bagai gelombang lautan. Tak sempat berhenti, siang maupun malam.

Duka selalu menghadirkan waktu sakit dan kekurangan untuk dirinya. Nestapa selalu datang bak mobil angkot permisi di terminal. Kegetiran begitu rindu mendekap tangisnya setegas datangnya KRL di tiap stasiun. Namun, kesehatan dan takdir selalu membuang-buang waktu dan kesempatan hidup yang mempat.

Engkau seperti dikutuk alam raya dan dinikahi kesialan-kesialan plus ujian kesakitan yang tak terselesaikan. Maha duka. Maha sengsara. Maha miskin. Maha gelap. Tergelap dari kisah mahabarata. Hernawan Mahabrata bukan namamu. Juga bukan Falicia Maharani, apalagi Dzikrina Aqsha Mahardika, Mahadewi, Ieda Maharani, Umay Maharani, Ivana Maharani Benz, Prima Maharani Putri, Rhany Maharani, Tengku M A Mahara. Jelas bukan semuanya.

Sesampainya di hari raya kukabarkan semua deritanya. Kukeluhkan duka laranya. Kulaporkan semua sakitnya. Kupuisikan tangisnya. Kepada tuhan, kepada hantu, kepada hutan dan kepada gendurwo. Tetapi semua diam, membisu dan membuta. Doa-doa seperti sia-sia. Keluh kesah tak berguna. Negara absen seperti biasanya.

Kini rumah sakit menjadi kaffe langganannya. Merintih dan terjepit doa: antara sisa hidup yang tak lagi punya makna. Tinggal aku sendiri terpaku menatap manusia mudik beriringan dan mabuk di rumah-rumah ibadah.

Ilalang berkibar. Hujan mulai menyapa. Kemacetan di semua ruas jalan. Tukang parkir panen. Daya juang pemudik menipis. Kabar bahagia makin mahal dan langka.

Kisah perjalanan beberapa manusia terasa sangat menyedihkan. Menusuk dan membingungkan kita yang di sekitarnya. Terlebih bagi mereka yang tak berkawan: tanpa banyak teman.

Banyak cerita yang mengerikan. Membuat teriris dan jumpalitan. Memang, mestinya kita saksikan agar belajar beneran. Ya. Belajar dari peradaban anyir yang tandus duka di tanah kering bebatuan. Kisah kalah. Sekalah-kalahnya.

***

0 comments:

Post a Comment