6 ARTEFAK PERADABAN DJAWA - Yudhie Haryono



Peradaban besar punya lima ciri. Pertama, ada nilai-nilai (filosofi) yang dikonsensuskan. Kedua, punya agama tersendiri. Ketiga, punya bahasa dan aksara tersendiri. Keempat, punya penanggalan dan angka tersendiri. Kelima, punya arsitektur dan artefak tersendiri yang khas.

Djawa sangat lengkap. Kelimanya ada dan hidup. Dalam hal artefak misalnya ada batik, sanggul, resep kuliner/masakan, resep kesehatan (obat), resep tekhnik bercinta, seni dan beladiri, resep bercocok tanam dan bahkan senjata. 

Senjata keris misalnya, adalah bukti bahwa peradaban Djawa mengembangkan senjata (tradisional) yang khas dan dalam perkembangannya mengikuti perjalanan sejarah kita sampai tersebar hingga ke negara tetangga.

Keris adalah senjata tikam golongan belati yang berkelok serta berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar.

Keris seringkali bilahnya berkelok-kelok dan banyak di antaranya memiliki pamor kesaktian. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.

Keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan sekaligus sebagai tanda status plus benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana.

Karenanya keris memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya. Tetapi, keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.

Dalam bacaan sejarah yang sederhana, awal mula terciptanya keris dapat ditelusuri pada prasasti batu di Desa Dakuwu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Pada prasasti tersebut terdapat relief yang menggambarkan peralatan besi, tahun 500 ditulis dalam huruf Pallawa, bahasa Sansekerta. 

Seni mengolah logam di Jawa juga dapat dilihat dari relief sejumlah Candi Borobudur, Candi Prambanan Prambanan, dan Candi Singasari (1300), Candi Jawi, dan Candi Panataran.

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai mahapatih, keris tersebar luas hingga kawasan Nusantara, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, dan Kamboja.

Di masa Sultan Agung, muncul dapur-dapur baru. Dapur keris bisa diartikan ragam bentuk keris sesuai dengan ricikan yang terdapat pada bilah berdasarkan jumlah lekukannya. Misalnya dapur keris Nagasasra, dapur keris Sabuk Inten, dapur keris Sengkelat, dapur keris Jalak Sepuh, dan dapur keris Tilam Upih.

Tradisi pembuatan keris terus berkembang pada era nusantara, terutama setelah Mataram terbagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755 M.

Dalam filsafat persenjataan, orang Jawa wajib memiliki empat pusaka keris berdapur lurus. Pusaka keris itu adalah Brojol, Tilam Sari, Tilam Upih, dan Jalak Sangu Tumpeng

Empat keris tersebut mempunyai arti yang berbada-beda namun saling berkaitan. Keris Brojol merupakan lambang keluar dari sebuah permasalah. Tilam Sari melambangkan keluarga sakinah, mawadah warohmah.

Sedangkan, Tilam Upih adalah lambang jiwa pemikir dan menurut kepada guru. Sedangkan keris Jalak Sangu Tumpeng melambangkan sudah tidak kurang sandang dan pangan atau pakaian dan makanan.

Dalam filosofi Islam, empat lambang keris itu disebut doa sapu jagat. Jika orang Jawa sudah memiliki empat pusaka ini, sesuai dengan filosofinya maka ia akan sukses dalam hidupnya.

Kini, keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005. Tetapi, merenungi keris itu seperti melihat pancasila. Mempelajari sejarah keris itu bagai menghidupi Indonesia. Dari keris, air mata ini menyadarkanku. Bahwa keduanya tak menjadi tabula rasa.

Keduanya takkan pernah jadi milikku. Keduanya bersatu untuk saling berpisah. Maka, air mata ini menyadarkanku. Sesadar-sadarnya. Bahwa kalian takkan pernah menjadi milikku.

Tentu saja. Aku tak pernah mengerti mengapa aku segila ini. Memikirkan, merenungi, menghidupi, merindukan. Sampai-sampai aku hidup untuk mereka, tetapi aku mati tanpa mereka. Sungguh. Sesungguh-sungguhnya aku tak pernah menyadari bahwa aku setolol ini. Setolol-tololnya. Sampai-sampai aku hidup untuk mereka, tetapi aku mati tanpa mereka. Aku menunggu mereka, tapi mereka mengkhianatiku. Aku mengundang mereka, tapi mereka tak mempedulikanku. Tak peduli. Tak pernah peduli.

Wahai keris dan pancasila. Kalian menjarah masa depanku tanpa punya nafsu/ Wahai kalian yang membekukan hari-hariku tapi tak berkalbu/Wahai kalian yang memporakporandakan cita-citaku tapi tak bergincu/Wahai kalian yang menikam jantungku tapi tak menutupnya dengan baju/
Wahai kalian yang menghancurkan imanku tapi tak mau tahu/Wahai kalian yang membunuh zamanku tapi tak memakamkanku/

Kini kukatakan tegas. Sungguh, "kekuasaan atas kapital dan cita-cita masa depan itu palsu untuk menjelaskan krisis hari ini. Sebab di masa depan kita pasti mati. Apa artinya kapital itu dan cita-citanya jika tak berguna mengarungi badai dan ombak yang demikian besar menghadang warganegara?" Sadarlah. Atau kalian memang bisu tuli dan buta.

***

0 comments:

Post a Comment