MELEWATI KEMALANGAN - Yudhie Haryono



Hidup itu penuh teka-teki. Di tiap tikungan ada kode-kode. Di ujungnya sering kita temukan rahasia yang tidak tak terpecahkan. Begitulah takdir kita. Maka, rahasia kemakmuran yang ultima adalah melihat kemalangan sebagai koreksi dan bukan sebagai kegagalan.

Ya. Koreksi diri, koreksi bernegara, koreksi bersama agar lebih baik dan menyempurna. Ini sangat penting karena kemakmuran adalah prestasi yang lebih besar dari kekuasaan. Pada kekuasaan intinya adalah tentang apa yang dapat kita kontrol. Sedangkan, kemakmuran adalah tentang apa yang dapat kita bagikan. Di sini, di Indonesia kita dikutuk oleh keberlimpahan sehingga suka berbagi sampai tak tahu dirinya miskin dan paria.

Potret para paria yang miskin itu hanya jiwa kiyup tempat hidup. Tanpa prestasi, tanpa gemerlap hari. Bertahta keburukan, beralaskan kebodohan. Tetapi, cinta mereka untuk Indonesia bak berlian utama.

Mereka itu siang malam meronda. Pagi sore meriset. Berjibaku menemukan pokok problema Indonesia dan menuliskan solusinya. Bergerak, berpikir, berucap, bertulisan untuk, demi, oleh dan atas masa depan Indonesia.

Kawan-kawan yang bijaksana. Dari kampus dan desa-desa terpencil, terlihat kini neoliberalisme yang menjarah kemakmuran kita makin gigantik. Makin ke sini, semua hal ikhwal di dunia dikomodifikasikan (dalam bisnis mutakhir). Termasuk uang, nyawa, kursi jabatan, teror, ayat suci dan kegaiban bahkan tuhan. Semua menggunakan media dan iklan yang membentuk simulakra. Sebuah simulakra yang melelapkan karena menghasilkan galaksi dan gugus-gugus keblingeran massal.

Selanjutnya bisnis-bisnis tersebut saling terkait karena agensinya beririsan (membentuk oligarki). Saling topang. Saling bantu walau terkadang predatori antar mereka terjadi. Di mana negara? Ia jadi alat sempurna bagi neoliberalis untuk bertelur dan beranak-pinak menjijikkan. Rakyat kembali tertimpa kemalangan. Satu takdir yang dulu ditikam mati oleh para pendiri republik.

Kini, kita harus menikam kembali. Jaringan mereka. Kurikulum mereka. Warisan-warisan mereka. Menggunakan negara. Dengan pancasila. Dan, kita lewati kebiadabannya segera.

Mari bertekad. Mari berucap. Selamat datang kembali kejujuran. Selamat tinggal kembali keculasan. Agar nasib terang tak hanya di istana. Agar kegelapan tak tinggal di harga-harga. Tetapi, terang di mana-mana dan gelap milik malam saja.

Optimisme ini penting sebab sesungguhnya kita lebih berani dari yang kita duga; lebih kuat dari yang kita rasa; lebih pintar dari yang kita kira, namun itu semua tersembunyi di balik diding tipis bernama keluguan dan keculasan para penjajah yang menjarah.

Optimisme ini sangat penting. Agar saat pulang ke kota-desa di Indonesia adalah pulang pada Pancasila. Pulang ke hati Indonesia adalah pulang pada akal budi luhur dan nurani sejati. Pulang ke jiwa Indonesia adalah pulang pada kejeniusan semesta, nusantara.

***

0 comments:

Post a Comment