KONSTITUSI DAN KEMAKMURAN - Yudhie Haryono



Apakah konstitusi kita menempatkan kemakmuran sebagai isu sentral? Tidak. Sejauh yang dapat kita baca, kemakmuran di konstitusi kita merupakan tafsir dari kata makmur yang terdapat pada pembukaan UUD 1945 alinea kedua: "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

Dan, juga tafsir dari bunyi pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 yaitu, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Makmur dan hak untuk mendapatkannya dilengkapi oleh empat bab dalam konstitusi kita yaitu: 1)Bab X tentang warga negara dan penduduk: terdiri dari pasal 26-28. 2)Bab XA tentang HAM: terdiri dari pasal 28A-J. 3)Bab XIII tentang pendidikan dan kebudayaan: terdiri dari pasal 31-32. 4)Bab XIV tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial: terdiri dari pasal 33-34.

Dari pasal-pasal yang menjadi tafsir atas kata kemakmuran maka, makmur itu cita-cita ultima bersama dan menjadi keadaan pasca kemerdekaan. Memakmurkan dengan demikian menjadi tugas negara dan pemerintah. Sebab, salah satu dari empat tugas konstitusional negara adalah, "memajukan kesejahteraan umum." Tentu, yang dimaksud kesejahteraan umum di sini adalah kemakmuran bersama.

Tetapi, tugas konstitusional itu tak mudah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, jumlah penduduk miskin kita per September 2018 mencapai 25,67 juta jiwa. Angka resmi ini relatif stabil dari tahun ke tahun. Angka sesungguhnya dua kali lipat, 51 juta jiwa.

Singkatnya, kemakmuran berasal dari kata dasar makmur. Secara umum, "makmur" memiliki kriteria kondisi sebagai berikut: 1)Terpenuhinya kebutuhan pokok (primer), berupa sandang, pangan, dan papan; 2)Mampu menjangkau kebutuhan sekunder maupun tersier dengan mudah; 3)Tidak memiliki tekanan batin, sehingga pikiran ringan; 4)Memiliki orang yang menjadi tempat kepercayaan; 5)Tidak kesulitan mengatur waktu, tenaga, maupun finansial; 6)Tercukupinya kebutuhan diri akan rekreasi dan mengerjakan hobi.

Kemampuan kita dalam bernegara untuk mencipta dan mentradisikan kemakmuran tentu merupakan tantangan. Karenanya, jangan hanya bicara soal Indonesia dan kesejahteraan. Mari bicara tentang kita yang lupa kemakmuran bersama; tentang warna bendera sendiri. Atau tentang kita yang buat lupa pada sesama saat berkuasa.

Sebab, seringkali kita lupa pada bisul tumbuh subur makmur di ujung hidung yang memang tak mancung. Kita lupa saat duduk dan dilayani oleh birokrasi. Kita lupa saat semua yang buruk rupa coba diungkap sebaliknya oleh media.

Kemakmuran kita tak kunjung merata, tak kunjung tiba, tak kunjung merealitas. Mengapa? Tentu karena kini kita menukar cita-cita itu dengan agama baru bernama korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Agama ini tumbuh subur. Hasilnya berupa tikus-tikus tak kenal kenyang. Rakus-rakus bukan kepalang. Otak tikus memang bukan otak udang. Selalu senang saat negara oleng. Selalu tumbuh walau seniornya sudah ditangkap KPK.

Ya. Panen koruptor ini menarik karena menghancurkan mimpi makmur bersama. Mungkin karena, "manusia Indonesia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; lalu mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan lokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Yaitu dengan menjumlah angka-angka walau diharamkan agamanya."

Tentu saja, berhala koruptor bukanlah pengganti yang baik untuk masa kini dan masa depan; jika kita mau menciptakan gairah keIndonesiaan yang baru untuk abad baru: untuk generasi baru. Kita harus merenungkan dengan seksama sejarah kemakmuran ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan. Pelajaran bagi tegakknya kemakmuran bersama dan peringatan bagi mereka yang mengkhianati dan merobohkannya.

Dus, kemakmuran harus direbut dan direalitaskan. Mengapa? Sebab nabi Karl Marx berfirman, "jangan pernah berharap kaum kapitalis-borjuis-begundalis akan memperjuangkan nasib kaum miskin dalam pesta-pesta makan malam mereka dengan anggur merahnya."

***

0 comments:

Post a Comment