Cerpen Politik, "PERANG KECERDASAN" - Yudhie Haryono



Siapakah dia? Sengaja lari di saat kita terjatuh habis. Sengaja lupa di saat kita di bawah kalah. Sengaja amnesia di saat kita tak punya apa-apa. Sengaja diam di saat kita menderita. Sengaja tak ada di saat kita sedang butuh-butuhnya. Sengaja mencatat dirinya saja sebagai pelaku sejarah satu-satunya.

Di ambang kehancuran yang berulang, akibat kalah dan pengkhianatan, aku bergumam, "Wahai kalian ekonom-ekonom konstitusi, di mana kini berada? Adakah sisa napas itu masih ada? Adakah sisa semangat masih tersisa?"

Semalam di rumah Ali Wardana (menkeu 68-83) para neolibertarian ngerumpi, konsolidasi dan pesta atas kemenangan mengkangkangi republik: atas hilangnya kurikulum revolusi, atas punahnya mata kuliah kemandirian, atas matinya kesadaran ideologi dan konstitusi.

Wahai kalian yang berkerumun, masih sanggupkah melawan pasukan kejahatan? Apakah perang ini akan kita akhiri dengan menyerahkan diri? Agar lengkap kekalahan ini.

Kawan-kawan, masih ingatkan diskusi kita saat kampanye kemarin? Kini mulai jelas hasilnya di lapangankan? Lihatlah, kita kini sendirian. Team ekonomimu sangat pro-pasar. Mereka punya illusion of invulnerability (rasa sempurna), benar terus, moralis, anti ilmu/alternatif lain, anti kritik, oportunis, bersekutu dalam ketamakan, koruptif, saling melindungi, sesat dari konstitusi. Kalau masih ada kesempatan, gantilah mereka secepatnya dan kirim ke neraka.

Teman-teman. Begitu banyak warisan ternak yang kita dapatkan. Tapi ternak kebohongan. Begitu banyak buah yang kita simpan. Tapi buah keculasan. Begitu banyak pahala yang kita banggakan. Tapi pahala kebodohan. Begitu banyak ilmu yang kita pelajari. Tapi ilmu ilusi: tipu sana, tipu sini. Sehingga ilmu pengetahuan kita tak seberapa, kuliah kita tanggung dan silsilah kita kerdil. Jadi kini kita bingung dan mencari kompensasi sambil tak bisa memahami.

Coba baca yang ini. Tekor karena mematahkan Perang Jawa sebesar 2T, kumpeni Belanda membuat Tanam Paksa sehingga mendapat 75T. Dengan duit sebanyak itu, kumpeni membangun rel kreta, benteng, sekolahan, istana, bayar utang negara dan pajak rakyat diturunkan karena devisa naik berlipat. Sejarah ini terus berulang di tiap pemilu. Dengan modal 10-50T, pemenang pemilu akan panen 75-150T. Inilah demokrasi uang, pemilu borjuis. Tentu bukan populisme seperti yang digembar-gemborkan itu. Bukan!

Teman-teman, tahukah kita soal populisme? Katanya bermakna membela kaum miskin. Itu terjemahan subtantif dari politik populis. Bagaimana Jokowi sebagai presiden terpilih merealisasikan politik membela kaum miskin jika: 
  1. Dia bukan ketum partai, 
  2. Dia bukan ketua ormas petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota. 
  3. Dia tak punya ide apapun tentang populisme. 
  4. Dia angkat kabinet pro pasar dan anti rakyat. 
  5. Dia tak punya rekam jejak pengetahuan dan gagasan nasionalisme. 
  6. Dia tak pro gerakan anti KKN. 
  7. Dia tak punya pengalaman melawan oligarki dan kartel--nasional dan internasional.
Itulah pertanyaan-pertanyaan dalam dialog Kompas-Murdoch Univ. Lalu, mereka menjawab sendiri bahwa: Jokowi membuat pesta nikahan anaknya dan kampanye blusukan plus citra sederhana. Sebab metoda kritis sudah terang menunjukkan bahwa program "nawacita" jadi nawaparia. Ya, sebab ide itu ide buatan kawan-kawan yang kasihan dulu atas keluguannya.

Kawan-kawan yang ditipunya demi kursi yang tak seberapa. Demi sego lan rupo. Bubrah sudah jika kacang makan kulitnya.

***

0 comments:

Post a Comment