DEKONSTRÙKSI ARABISME - Yudhie Haryono



Ribuan tahun, kita tunduk pada skema orang luar: dari produsen ke konsumen. Dari atlantik ke arabis dan terjerembab dalam kubang chinis. Tentu bukan tanpa skema. Melainkan via proxy dan begundal lokal.

So, secara sistematis, massif dan terorganisir, kita masuk perangkap syorga eskatologis. Via road map, gold, glory, gospel and poverty, sempurna sudah kita dalam cengkraman arabis dan chinis. Makin hari, kita pasrahkan eskatologis ke kaum arabis. Makin hari, kita pasrahkan profanitas peradaban ke kaum chinis.

Kita tahu bahwa gold adalah perampokan kekayaan. Glory adalah perampokan teritorial. Gospel adalah perampokan ideologi. Poverty adalah perampokan mental dan kurikulum.

Dengan empat kunci inilah, bangsa yang mengalami kolonialisme dan imperialisme akan diskenariokan sebagai bangsa pinggir dan pemasok kebutuhan penjajah sampai kiyamat. Sadis bukan?

Bagaimana keluar dari dominasi arabis, yang mutannya adalah ontanis? Ada banyak jalan.

Pertama, kita harus tahu dulu ciri arabisme itu. 
  1. Mereka menjawab masa depan dengan masa lalu; 
  2. Menyembah teks; 
  3. Jurusannya akheratisme; 
  4. Truth claim~kita paling benar yang lain salah; 
  5. Monolitik; 
  6. Berkutat pada ibadahisme~saleh ritual; 
  7. Emosional dan tertutup; 
  8. Klanis~mengimani hubungan darah secara membabi buta; 
  9. Pusat gravitasinya di Makkah dan Madinah.
Kedua, memahami reduksi arsitektur arabisme menjadi ontanis. Menyembah identitas pariferal: jilbabos, hadisi, jenggotis, cungkringis, takfiris, jidatis.

Ketiga, sesungguhnya mereka tidak memiliki sesuatu yang baru. Yang ada adalah mereproduksi hal-hal lama. Makanya ide ibadah di planet lain dan penguasaan tekhnologi, misalnya, tak ada jawabannya. Nalar mereka masih di sini dan di masa lalu.

Keempat, medeskonstruksi kurikulum tersebut dengan mematrialisasikan kurikulum baru yang bertumpu pada lima hal: 
  1. Ruh al-istiqlal (freedom); 
  2. Ruh al-intiqad (criticism); 
  3. Ruh al-ibtiqaar (inovation); 
  4. Ruh al-ikhtira (invention); 
  5. Ruh al-idzati (interdependency).
Ilmu pengetahuan baru ini menempatkan metoda kebebasan, kritis, kreatifitas, progresif, gotong-royong sebagai tulang punggung (back bond). Tanpa revolusi nalar, kita akan membangun peradaban yang sama dengan para arabis.

Dus, kurikulum deskonstruksi ini menyadarkan kita bahwa tak ada ibadah lebih besar pahalanya melebihi ibadah menyelamatkan negara. Tak ada jihad lebih mulia jejaknya melebihi jihad melawan penjajah. Tak ada cinta lebih berdentang keras luar biyasa melebihi cinta warga pada negaranya (hubul wathan minal iman).

Kurikulum dari pikiran raksasa ini disemai di sekolah-sekolah atlantik yang gigantik guna melahirkan pasukan nusantara yang berkonsolidasi dalam lima tradisi: 
  1. Merealisasikan Sekolah-sekolah Postkolonial; 
  2. Mematrialisasikan Roadmap Indonesia Cerdas dan Bermartabat;
  3. Mereclaim the State; 
  4. Merealisasikan Janji Proklamasi; 
  5. Mentradisikan Negara Pancasila.
Kelima, menyadari bahwa era lama soal perampokan emas (gold) akan berkembang ke perang herbal dan hasil lautan. Perang teritorial (glory) akan berkembang ke perang currency, asimetriks, proxy, medical dan IT. Perang agama (gospel) akan meluas ke perang peradaban: clash of civilization. Huntington menulis dlm bukunya "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order" (1996) yang dikembangkan dari tesis Albert Camus (1946); Bernard Lewis (1990) dalam "The Roots of Muslim Rage." Juga buku karya Basil Mathews: Young Islam on Trek: A Study in the Clash of Civilizations (1926). Tesis ini diambil dari konsep benturan budaya yang sudah pernah dipakai pada masa kolonial dan Belle Époque.

Hey, ayok bangun dari puasamu (badan) menjadi siyammu (jiwa). Dari abu jahil menjadi abdullah. Dari biladulfakir menjadi biladulfadil. Berhentilah jadi genk arabis yang meminum air kencing onta sampai kalian buta, tuli dan bisu. Merasa berinvestasi syorga padahal asuransi neraka.

Dahulu. Ya dahulu sekali. Saat mendung tanpa angin haluan. Saat matahari tanpa terik terperi. Kalian pasti ingat, kita terbiasa sendiri. Beratus hari. Bekerja sepenuh hari dan hati. Antara menunggu perintah dan kedatangan manusia dengan senyum dan tangan terbuka untuk menolong serta berbagi sepotong hari di masa depan.

Selalu menunggu terus menunggu. Sampai bertumpuk batu bata dan genteng berlumutkan kehampaan dan keceriaan dari zaman yang telah meremukkan. Berharap datang seseorang atau sekeluarga yang tak hanya senyumnya. Tetapi juga keluh kesahnya. Untuk melengkapi kisah hidup ini. Kisah-kisah yang belum terketikkan. Melewati takdir yang tak selamanya mudah dipahami.

Dan, kini kita di sini. Pada babak pertama yang telah berbulan kita jalani. Kawan-kawanku, jika ini peradaban batu, mari kita rubah menjadi zaman hati. Yang riang dan menyejukkan plus bergizi.

***

0 comments:

Post a Comment