7 PERADABAN BANTEN - Yudhie Haryono



Multietnik adalah takdirnya. Ia ditempa dalam medan pertempuran. Ia runtuh dalam paregreg dan bencana plus kedatangan kolonialis purba. Padahal, Banten merupakan negara maritim yang kuat dengan armada modern sehingga menguasai perdagangan di sekitar negara-negara tetangga. Kini, kisah kebesarannya tinggal cerita.

Di masa itu (1526–1813), ia memonopoli perdagangan produk herbal seperti Lada, Kopi dan Gula yang menyebar sampai di Lampung, dengan menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara. Dengan posisi tersebut, Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang sangat penting dan berpengaruh.

Kita paham, sejak jaman ribuan tahun lalu telah ramai berkembang lalu-lintas pelayaran dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara dengan kerajaan-kerajaan di dunia. Banten menjadi sangat penting dan centripetal karena ada Selat Sunda. Jalur laut tersibuk sampai kini.

Tetapi kini, Banten dan Serang (sebagai ibu kota) sedang mencari jati diri. Tentu ini pekerjaan raksasa. Agar tak berat, mari kita mulai dengan tanya. Siapakah investor terbesar dalam revolusi melawan kolonial? Kaum muslim. Bahwa mereka bernasib banyak kalah setelahnya sehingga dinistakan, itulah kenyataan yang tak bisa dibantah.

Itu juga yang membuat kyai di NU dan Muhammadiyah memilih jalan lain agar bisa mengisi periuknya. Pasca revolusi Jawa (kyai Diponegoro) dan revolusi Sumatra (kyai Bonjol) praktis hanya revolusi Banten (kyai Abdul Karim) yang menginspirasi revolusi nasionalnya para pemuda (Soekarno dkk).

Revolusi Banten tumbuh sejak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh begundal Herman Willem Daendels (1762-1818). Tercatat ada tiga kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang terjadi di Banten.

Pertama, tahun 1850 dipimpin oleh kyai Wakhia. Kedua, tahun 1888 yang dilakukan oleh sebagian besar para petani di bawah komando kyai Abdul Karim dan kyai Tubagus Ismail. Ketiga, tahun 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang Banten dipimpin kyai Adarhi.

Semua pemberontakan ini lebih merupakan pertanda keinginan untuk bebas dari cengkraman kolonialisme. Karena itu Banten pantas disebut kota Revolusi Purba. Kota yang melahirkan kenistaan sekaligus kesadaran, kata sastrawan Max Havelar.

Banten juga layak disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan nusantara. Pemberontakan terbesarnya terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Santri-Petani Banten.

Revolusi ini dipimpin langsung oleh kyai Abdul Karim, ulama besar dan orang suci di mata rakyat. Ia pemimpin dan guru tarekat Qadiriah. Beliau dibantu oleh kyai Tubagus Ismail, seorang bangsawan Banten yang merakyat. Ia juga ulama yang jaringannya melampai batas-batas keagamaan. Sayangnya, kalah.

Karena kalah, kini revolusi berbasis agama (Islam) tinggal kenangan. Kesadaran postkolonialisme dalam tradisi islam hanya cungkringisme dan auratisme. Bahasannya hanya jilbab dan poligami. Nista sekali.

Kekalahan memang menjijikan. Revolusi fisik nasionalis dilupakan. Revolusi kejumudan diagamakan. Kyai-kyai dadakan buatan media dipuja dan dibayar mahal hanya untuk melawak dan membodohi kita.

Sayangnya, kyai-kyai NU dan Muhammadiyah juga banyak yang sibuk korupsi via politik recehan. Zaman kejahiliyahan ini memang sedang melegenda. Mengapa hal ini terus terjadi? Mari kita temukan solusinya.

Harus diakui, kita kini defisit agensi pancasilais sehingga gagal panen tulisan inspiratif. Lebih jauh juga mengalami defisit ketikan tekhnologi dan industri. Sebaliknya, kita surplus tulisan ngalor-ngidul dan jahiliyah. Banjir di mana saja dan kapan saja tulisan soal baju, ibadah, makanan, tingkah laku sambil menghadirkan romantisme, hoax dan takfiri.

Di sini, jika ingin digdaya kembali, kota dan desa kita perlu revolusi pancasila untuk merubah hal buruk menjadi dahsyat. Yaitu trias revolusi yang keren: Revolusi Mental, Revolusi Nalar dan Revolusi Konstitusional.

Maknanya berupa perubahan cepat dan tepat dari mental kolonial ke mental pancasila; dari nalar fundamentalis bin fasis ke nalar kemanusiaan progresif; dari konstitusi parsialis ke konstitusi keadilan subtantif.

Dengan revolusi itu, program raksasa berikutnya bisa kita kerjakan. Di wilayah Banten dan kota Serang, ada baiknya membuat dua hal fundamental. Pertama, ciptakan smart city (kota cerdas).

Projek raksasa ini merupakan visi pengembangan daerah/wilayah untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan teknologi Internet of things (IoT) dengan cara yang aman untuk mengelola keseluruhan aset-asetnya.

Aset ini meliputi sistem informasi instansi pemerintahan lokal, sekolah, perpustakaan, sistem transportasi, rumah sakit, pembangkit listrik, jaringan penyediaan air, pengelolaan limbah, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat lainnya.

Projek kota cerdas ditujukan untuk penggunaan informatika dan teknologi guna meningkatkan efisiensi pelayanan. TIK memungkinkan para pejabat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan infrastruktur kota serta memantau apa yang terjadi di kota, bagaimana kota berkembang, dan bagaimana menciptakan kualitas hidup yang lebih baik.

Melalui penggunaan sensor (cctv) yang terintegrasi dengan real-time monitoring sistem, data yang dikumpulkan dari warga dan perangkat dapat diolah dan dianalisis. Dus, informasi dan pengetahuan yang dikumpulkan adalah kunci untuk membuat solusi; mengatasi inefisiensi, kemacetan, banjir, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

Kedua, membangun universitas maritim banten (UMB). Kampus ini menerjemahkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kita tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi menjadi peradaban maritim (poros maritim dunia).

Dengan mendirikan kampus maritim, Banten menjejak masa lalu dan menguasai masa depan. Sebab, projek itu bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan sekaligus pertumbuhan ekonomi.

Untuk menuju peradaban maritim kita wajib membangunan budaya maritim dari aspek infrastruktur, kampus, kurikulum, jaring politik, sosial-budaya, hukum, keamanan dan ekonomi. Juga penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan.

Di sini, kita perlu komitmen besar, pikiran jenius dan kesabaran revolusioner serta visi seribu tahun ke depan. Dan, tak ada pilihan lain. Atau bagaimana menurut kalian?

Singkatnya, kita jangan sampai bernasib tak bernasib baik seperti ketikan kecemasan penulis besar Yudi Latif (2019) yang berjudul "Senjakala Indonesia." Menurutnya, Indonesia tak bisa memenangkan masa depan karena memang tak ada usaha mempersiapkan masa depan.

Budaya sebagai jantung spirit kemajuan tengah memasuki musim gugur. Dalam ungkapan "Oswald Spengler", di sini seni tak lagi menemukan bentuk dan gaya terobosan yang  orisinil; terperangkap dalam banalitas eklektik. Pemikiran mengalami pengeringan. Politik jadi pergelaran kuasa uang dan permainan uang. Warga hidup dalam barak-barak pemukiman yang padat semerawut.

Kekuatan agama tidak memancarkan spirit pembebasan dan etos amal saleh; memfosil menjadi ritual pemujaan para demagog. Aparatur negara tidak memacu daya saing dalam peperangan antarbangsa, tetapi disibukkan oleh urusan memanipulasi rakyat dalam penghambaan terhadap 'kaisar-kaisar' baru penguasa uang. Nangudzubillah mindzalik. Subhanallah.

***

0 comments:

Post a Comment