KEMAKMURAN DAN PERTANYAAN ITU - Yudhie Haryono



Andaikan penjajah datang kembali. Perlawanan apa yang akan kita beri. Adakah perang yang kita temui. Mirip revolusi para pendiri republik yang banyak akal dan cara. Atau kita kembali lagi dijajah menyerah tak berdaya pasrah.

Andaikan krisis berulang. Apakah blusukan itu jadi pilihan. Ataukah ada aksi lainnya. Andaikan konflik itu tumbuh jumbuh. Apakah kita punya cukup kecerdasan. Semua kok berjalan datar tanpa dentuman. Padahal kita tahu bahwa keadilan dan kemakmuran itu keniscayaan.

Tentu saja keduanya jelas bukan pemberian gratis. Apalagi janji pulsa dan palsu. Semua harus diusahakan: direbut dan dibagikan. Melihat postulat itu, tuan Saafroedin Bahar mengetik tesis, "sangat jelas terlihat bahwa keamburadulan Indonesia dewasa ini disebabkan oleh tiga hal:
  1. Kekonyolan pemimpinannya;
  2. Intervensi dari luar negeri, dan
  3. Bungkamnya orang-orang baik dan idealis."
Akibat dari tiga hal itu yang tua-tua, tak kapok-kapok dalam KKN. Padahal, dunia baik terus menerus berlanjut, sehingga kaum muda waras harus mekar, agar keseimbangan jagat raya tetap harmoni.

Mestinya, demi kemakmuran, pilpres kita penuh ide dan gagasan jenius agar punya makna. Tapi kok belum. Maka, mari sadari bahwa tidak semua harapan harus  dimenangkan. Kita harus paham bahwa di dunia ini, tak ada yang bisa dipeluk erat atau dipertahankan sampai mati beneran. Selalu ada yang harus berkorban demi cita-cita dan cinta yang lebih besar serta untuk Indonesia Raya.

Demikianlah kalau kaum tua sadar dan kaum mudanya pintar plus bermoral. Sayangnya kita terlalu pintar dan lulus  menternak kaum tua berbaju baru dan kaum muda bermental tua: fasis bin feodalis serta koruptif.

Akhirnya, kita baru bisa melahirkan pemerintahan via demokrasi liberal yang kejahatannya tak termaafkan. Tetapi, membiarkan pemerintahan itu tumbuh menjadi orde kleptokrasi jauh lebih berdosa besar.

Tentu, itu tindakan biadab dari sebagian masyarakat sakit. Ya. Dimulai dari mental yang sakit, aturan yang cacat, praktek yang culas dan diakhiri dengan tindakan-tindakan khianat konstitusi adalah potret kita semua dalam demokrasi hari ini.

Hasilnya, kita panen para pemimpin palsu yang menghasilkan janji palsu, program palsu, keputusan palsu, pulau palsu dan realisasi palsu.

Kekuasaan demokrasi kini kehilangan kuasanya; tak ada tajinya. Tunduk pada kuasa yang tak terbaca: kecuali angka dan kertas saja. Tanpa program pro kaum miskin dan termarjinalkan, walau mereka marhein dan arabis sekalipun.

Padahal, negara tanpa ksatria sejati seperti tubuh tapa jiwa, bagaikan pohon tanpa daun. Salah kita menciptakannya, sesal kita sepanjang masa (kalau nalar masih waras).

Kini, produk revolusi mental adalah janji suci yang terombang-ambing hasutan politik; dihempas para petualang. Akibatnya, kita semua jadi hambar, tak berkabar. Hanya 33.2% yang puas terhadap kinerja pemerintah selama lima tahun.

Kita, sesungguhnya menunggu republik membaik. Itu kesimpula  dari riset buku-buku terbaik yang sangat serius terhadap kondisi ekopol hari lalu dan kini. Jika tidak tobat, kita bisa going no where dan out of order. Mau? Janganlah. Menjijikan. Malu sama anak cucu.

Yah. Dalam negara swasta yang berfilsafat pasar adalah tuhan yang maha esa, kita menghadapi tujuh problem besar: 1)Absennya diskursus negara pancasila; 2)Absennya mentalitas Indonesia; 3)Absennya sekolahan Indonesia; 4)Absennya kurikulum Indonesia;
5)Absennya refrensial Indonesia; 6)Absennya UU Indonesia; 7)Berkuasanya oligarki yang anti pancasila, rabun indonesia, khianat nusantara.

Lalu, kita mau bagaimana? Rakyat kebanyakan hanya bingung dan bisu saja. Menumpuk luka, menjumlah paria dan bertutur tanya tak berjawab segera.

***

0 comments:

Post a Comment