Cerpen Senin, BEYOND PANCASILANYA LATIFAH - Yudhie Haryono



Jika cara tuan-tuan berpancasila adalah berindividual, tentu belum mengerti makna pancasila. So, ini sekedar berbagi keresahan. Rasanya, kita harus sadar dulu bahwa hilir dari neoliberal hari ini adalah soal kurs. Setelah negara-negara kolonial dengan rakusnya memperkosa SDA dan SDM maka cara menstabilisasi kuasanya adalah dengan menciptakan kurs sebagai alat kolonial baru. So, bekerjalah dan jualah sesukamu, kubeli dengan semauku: inilah kredo jahat neoliberal. Maka sekaya (SDA) dan sepintar (SDM) dirimu tetap dalam genggamanku.

Lihatlah kini, TKI/TKW adalah takdir baru yang rela meninggalkan keluarga demi "nilai lebih mata uang tertentu terhadap rupiah." Wahai manusia suci. Tak akan hina di mata hantu dan alam raya. Engkau begitu mulia. Aku tahu engkau tak berpenis dan tak bervagina. Cintamu hanya untuk tuhan saja. Maka, orang seperti kami harus belajar mencintai tanpa memaksa dicintai; memahami tanpa memaksa dipahami; menyayangi tanpa harus dibalesi. Semoga waktu meningkatkan ikhlas hati kami. Itulah fatwaku kini buat TKW/I.

Dalam teori ekopol Pancasila, kita melawannya dengan teori kemandirian ekopol. Salah satu cabangnya "daulat mata uang." Rupiah harus tunduk dalam kinerja negara dan dalam rangka memanusiakan manusia. Karena itu intrinsik dan ekstrinsiknya harus sama. Ia alat tukar bukan alat yang lain. Karena itu, mata uang apapun dan dari manapun nilainya sama saat masuk teritorial negara (Indonesia). $1=Rp1 sebagai misal.

Soalnya adalah presiden dan menkeu serta gubernur BI gak paham. Gak mengerti kedaulatan. Bahkan mereka bagian integral dari neoliberal. Maka, rupiah ambruk adalah biasa dan disengaja. Kini, kita harus menemukan jalan keluarnya bukan?

Membincang republikmu seperti menulis kangenku. Betapa sulit tak menulis surat cinta buatmu. Walau kutahu tak mungkin kau baca. Sebab matamu buta. Tak mungkin kau tanggapi. Sebab nalarmu bisu dan tuli. Bagimu, aku dan tulisan-tulisanku hanya aksiden selintas. Manusia tak penting di zaman tak genting. Remuk. Busuk. Terkutuk.

Kini. Besok. Atau entah suatu hari nanti. Jika hatimu lapang. Aku mimpi, kita duduk di tepi pantai. Kau bercerita pengalaman-pengalaman spiritualmu, riset-risetmu, demonstrasi-demonstrasimu. Aku dengar dengan riang dan khidmat. Sambil memandang ombak di lautan yang kian menepi. Sambil kunikmati sisa senyummu yang hampir punah setrilyun tahun lalu. Sambil kubacakan sajak-sajak Rendra buatmu. Sambil kutepuk pinggangmu. Bukankah mimpi tak selalu menipu?

Sementara, burung-burung ababil terbang kian kemari. Memberi contoh bagaimana pacaran yang benar. Sambil bermain begadang di derunya ombak. Dan luasnya padang pasir. Terdengar suara alam syahdu yang hangatkan jiwa kita: nalar dan cita-cita. Para pencari Tuhan dan ilmu. Pengembang peradaban.

Kasih. Aku kangen padamu. Kangenku bagai sinar surya sepanjang masa. Sepanjang pagi. Tapi rasamu perlahan mulai tenggelam di dasar samudera. Lebih dalam dari dasar Atlantik asal muasal peradaban Nusantara.

Kasih. Aku merindukanmu. Sebab suara hatimu mengalunkan melodi tentang cinta ilahi. Cinta qurani. Tapi kutahu kau tak ada hati yang membara erat bersemi padaku. Apalagi berjuta getar seluruh jiwa. Ya. Jiwamu tak bisa lagi tercurah saat itu untukku. Sebab kini jiwa ragamu mati sebelum mati. Bersama rembulan dan sinar mentari di langit tak terjangkau lagi. Engkau bagai hantu yang perih. Bukan air yang jernih. Bukan laut bagi sungai serayu.

Kasih. Kuharap persahabatan ini selalu tumbuh. Berkembang lestari. Tidak cepat berlalu. Sebaliknya ingin kuingat selalu. Sepanjang hidupku. Sebab hatiku berdegup damai. Jiwaku tentram berkalang kerinduan di sampingmu: bersamamu. Walau jiwamu membatu. Hatimu membisu. Tanganmu beku. Dan tak pernah merindukanku apalagi mencintaiku. Kaulah indonesiaku. Negeri elok yang menolak tak sudi gemah ripah loh jinawi. Maka, data BPS per September 2016, total penduduk miskin Indonesia mencapai 27,76 juta orang atau 10,7 persen dari total populasi. Ngeri bukan? Tentu obatnya bukan vlusukkan!

I MISS YOU INDONESIA KITA

***

0 comments:

Post a Comment