BERSETUBUH DENGAN BELENGGU - Yudhie Haryono



Kesempurnaan. Inilah hulu belenggu. Hilirnya paria (kehinaan). Islam yang hari ini bermetamorfosis jadi arabis dan ontanis--diklaim telah sempurna. Tak ada cela. Tak ada cacat. Tak ada kurang. Tak perlu ada tambahan (bid'ah). Benarkah? Mari kita senyum. Orang waras pasti tahu ini mitos jahiliyah modern. Sihir kaum jenggotis. 

Bagaimana menjelaskannya? Kita buka satu-satu ternak kedunguan ini. Dungu penghasil belenggu. Jika kita cek teks, hulunya banyak. Tetapi akarnya dua. Pertama, firman yang berkata, "Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, telah kucukupkan kepadamu nikmatku, telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS Al-Maaidah/4:3). Kedua, Firman yang berkata, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah) dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah/2: 208).

Ayat-ayat itu kemudian melahirkan mutan yang demikian banyak. Banjir mutan itu dikunci dengan wasiat Muhammad saw, "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama Islam yang tidak ada dalilnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lalu diakhiri dengan proklamasi, “Islam salih fi kulli zaman wal makan (Islam senantiasa baik dalam segala waktu dan tempat).

Singkatnya kemudian mereka berpesta dan menyanyikan lagu Ari Lasso berjudul Cinta (Islam) Terakhir. 
Sedalam samudra telah aku selami
Setinggi langit di angkasa telah kuarungi 
Sepanjang kehidupanku aku mencari
Sebentuk kelembutan hati cinta (Islam) sejati
Kini usai sudah segala penantian panjangku. 
Setelah temukan dirimu duhai kekasih (Islam) ku
Hanya di hati (Islam) mu akan kulabuhkan hidupku
Karena kaulah cinta (Islam) terakhirku. 
Berjuta kejora terangi gelap malamku.
Tetap tak seindah cahaya mata hati (Islam) mu. 
Kini usai sudah segala penantian (agama) ku.

Luar biasa belenggunya bukan? Tapi mari kita tanya satu persatu. Pertama, kalau ia sempurna, mengapa ummatnya paria dari percaturan dunia? Kedua, kesempurnaan yang dimaksud mengapa tidak diakhiri dengan kiyamat? Ketiga, Islam, Muhammad saw dan al-Qura’n hadir secara bertahap mengikuti perkembangan sejarah (sajjarah), tidak langsung jadi. Maka, di zaman mana kesempurnaan ini berlaku? Keempat, Jika ia menyempurnakan, mengapa sekarang belepotan dan marah-marah saja kerja pemeluknya? Terakhir, Jika Tuhan menghentikan ‘proyek nubuwah’, apa alasannya?

Lima pertanyaan tersebut sesungguhnya hanya usil-usul untuk mengembangkan konsep dialog-konstruktif. Sebab, dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari peradaban lain meskipun menurut perasaan kebudayaan mereka lebih rendah; memperlakukan peradaban lain sederajat; keyakinan bahwa peradaban lain dapat mengajar dan saling mengajari. Artinya bahwa tindakan dialogis selalu bersifat kooperatif (gotong-royong). Itu berarti adanya kesatuan-kebersamaan intra-antar peradaban dalam usaha memacu proses perubahan ke arah yang lebih baik.

Jika itu paradigmanya maka ‘kesempurnaan’ hanya mitos purba. Ia penyakit psikis yang dialami oleh manusia minder inlander. Mirip nyonya tua yang tak bisa percaya diri dengan keriput kulitnya lalu pergi ke salon dan operasi plastik. Atau mirip ibu yang ditanya anaknya tentang siapa lelaki terhebat dan tersempurna untuk ditiru, dan ibu itu menjawab, bapakmu. 

Dus, arti sempurna itu "saat itu dan waktu itu, bukan selamanya dan di mana saja." Sebab lelaki sempurna bukan hanya bapaknya. Sebab perempuan sempurna bukan karena operasi plastik kulit keriputnya. Sebab, Islam itu konsep, nilai-nilai dan sifat; bukan barang jadi yang statis. Singkatnya, konsep sempurna itu hadir sebagai gejala penyakit ketakutan (ditinggalkan) dan spekulasi (keberpalingan pengikut). Bukan sikap dewasa dan Islam yang sesungguhnya.

Menganggap Islam sempurna pada akhirnya seperti berzina dengan belenggu. Nikmat tapi sesat. Sebab Islam mestinya revolusi ruhani dan revolusi total, dari-oleh-untuk revolusi diri demi merevolusi dunia.

Sungguh. Jika kita berzina dengan belenggu, maka kitalah sesungguhnya sangkakala bagi agama; kiamat bagi Islam subtantif. Agar tidak berzina, agar tidak terbelenggu, agar tidak paria, agar tidak kiamat, maka itu hanya dapat dikerjakan jika kita punya paradigma bahwa kesempurnaan itu sementara dan kitalah yang harus mengusahakannya: lewat nalar jenius yang meraksasa. Mari revolusikan nalar.

***

0 comments:

Post a Comment