BERTEPUK SEBELAH TANGAN - Yudhie Haryono



"There is no greater glory than to die for love.” —Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera, 1993.

Setrilyun kehampaan. Semilyar kesunyian. Sejuta kenestapaan. Seribu keentahan. Seratus kesialan. Sepuluh kehidupan. Satu kematian. Inilah arsitektur atom hidupku. Inilah sejarah terkiniku. Atom yang belum sempat meledak. Sejarah yang tidak sempat memuncak. Bintang yang tak sempat terang.

Hidupku tak pernah seperti matahari. Sejarahku tak bersinar sepanjang hari. Hidupku tak sama dengan angin yang terus mengembara melintasi musim dan masa. Sejarahku sederhana saja. Kesepian dan kesunyian sepanjang musim bermekaran bunga. Hidup yang singkat, indah dan pasti dilupa seluruh makhluk hidup di sekitarku.

Tak ada tanaman dan pohon bunga di dunia ini yang abadi. Baik bunga deposito ataupun edellweis dari dataran dan puncak gunung tinggi. Semua berakhir, berganti dan terus berganti. Tak ada kemarau sepanjang tahun. Tak ada hujan seluruh waktu. Tapi hidupku kini sempurna dalam tangis keabadian.

Kini, apa karena menginginkan pelangi, aku harus rela untuk bertahan dalam hujan? Hanya tuhan hantu dan hutan yang tahu. Sebab, untuk yang keseratus kali, kau pilih membisu. Kau memilih hidup dan mati bukan dengan mendengar suara hati.

Mutanku tiga: Aksara, Syailendra dan Bintang. Maka kini kutanya kembali, "maukah kau rubah hidupku jadi perayaan syorga?" Sebab hanya engkau dan engkau yang bisa dan kumimpikan jadi belahan jiwa. Bidadariku. Permaisuriku.

***

0 comments:

Post a Comment