WAKTU TERUS BERJALAN - Yudhie Haryono


Kata ibuku, "kebenaran akan memberimu kekuatan melebihi apapun. Idealisme akan memberimu vitamin perlawanan melebihi kekuasaan." Ini yang membuatku bertahan. Meniti idealisme.

Terus, dan sering ibuku berfirman, "salatmu itu memperjuangkan keadilan orang-orang tertindas. Zakatmu itu membela kaum miskin dari jahatnya para perampok. Masjidmu itu berdiri bersama kaum cacat di seluruh Indonesia."

Jadi bukan salat lima waktu, bukan zakat fitrah 2.5 kg, bukan masjid mentereng di sekitar perumahan kumuh.

Maka, kata ibuku, "hanya syaithan yang membuat kita serakah. Hanya malaikat yang membuat kita beribadah. Manusia berisi keduanya. Jika hanya salah satu, ia memilih mengabsenkan akalnya. Semoga kalian anak-anakku tak menjadi syaithan yang berkecambah di Indonesia." Itulah seni menyemangati dari ketikan ibuku buat semua anak-anaknya.

Tentu, sejak masa anak-anak dan saat mengenang masa remaja, nasihat itu diazankan. Berulang dan berulang. Tanpa refleksi itu, kita tak mengenal tua. Apalagi bijaksana. Sebab, kita adalah setan-setan berwajah jenaka. Jarang menjadi malaikat tak berdosa.

Betapa revolusioner ide-ide agama dan nasehat ibuku! Mungkin karena ibuku tahu bahwa di Indonesia, orang-orang tolol, nggedubrus agama. Orang cerdas, bicara ekonomi. Orang jenius, bicara revolusi.

Mungkin juga karena literasinya mengatakan bahwa, semua agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam)  itu berawal dari gerakan protes terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahannya yang gak bener.  Itulah sebabnya para Nabi senantiasa dimusuhi para penguasa saat itu. Karena itu mestinya intelektual itu warosatul anbiya, pewaris para Nabi, maka mestinya juga progresif. Itu harapan ibuku melihat anak-anaknya yang sarjana.

Sayangnya, lingkungan kami (anak-anaknya) buruk rupa. Lingkungan yang asosial walau ada pancasila. Kini puncak posisi lingkungan kita menghidupi zaman edan, kalabendu dan penyembah keburukan semesta. Buktinya berceceran di mana-mana.

Kita tahu. Tingginya angka anti konstitusi (tentu juga rabun sejarah) berkorelasi positif terhadap tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik nasional. Tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik ini berkorelasi positif terhadap tingginya pengangguran di Indonesia.

Tingginya angka pengangguran ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka kemiskinan. Dan, tingginya angka kemiskinan berkorelasi positif terhadap tingginya kekayaan elite oligarki. Serta, tingginya kekayaan elite oligark ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dan, kita belum tahu ujungnya. Juga belum tahu bagaimana mengakhirinya. Padahal, waktu tak berhenti. Sebab, jika berhenti akan memenggal kita: mati.

***

0 comments:

Post a Comment