DEFISIT DISKURSUS DAN LITERASI ANCAMAN NEGARA - Yudhie Haryono


Apa yang tak hadir dalam 20 tahun reformasi? Adalah diskursus ancaman negara. Akibatnya, kita tak punya kepekaan soal perang nir-militer; tidak punya UUnya; tidak punya lembaga yang mengurusinya. Padahal perang ini terus berlangsung. Dan, kekalahan terbesar kita dalam perang nir-militer ini adalah pada peristiwa amandemen UUD-45.

Akibat amandemen yang kebablasan, kita masuk dalam kubangan demokrasi liberal bahkan kriminal. Dalam demokrasi ini, pemikir kenegaraan Hatta Taliwang menengarai sedikitnya ada lima cacatnya:

  1. Biaya pilpres langsung secara ekonomi sangat mahal. Cek berapa uang yang harus dikeluarkan APBN yang terus meningkat dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
  2. Biaya sosial dan psikologis juga mahal sekali. Banjir konflik, hoax, fitnah, perceraian, perkelahian dan kematian petugas yang berjumlah ratusan
  3. Tidak menghasilkan pemerintahan yang fokus selesaikan problem rakyat. Mereka fokus mengembalikan modal dan mencari modal baru buat pemilu berikutnya.
  4. Soal presiden threshold (PT) lama di mana sudah banyak pemilih yang lalu (2014) telah meninggal, masih dihitung dan digunakan. Sementara pemilih pemula yang berusia 17 tahun pada 2018 tidak dianggap. Tentu ini cacat hukum, cacat akal sehat dan cacat moral.
  5. Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih 31 juta yang misterius itu. Ini sesuatu yang sangat tidak logis dan mengkhianati Pancasila dan konstitusi.

Apa akibat lanjutannya? Lahirnya pemimpin rapuh bahkan khianat pancasila. Mengutip tesis Wirdhani Asri, "Kepemimpinan nasional rapuh karena kita melakukan rekrutmen pemimpin dengan sistem demokrasi liberal yang mensyaratkan kesetaraan pendidikan dan penghasilan. Karena tidak ada kesetaraan maka timbul tradisi transaksional yang sudah terjadi di negeri ini."

Tentu saja, melahirkan pemerintahan via demokrasi liberal adalah kejahatan tak termaafkan. Tetapi, membiarkan pemerintahan itu tumbuh menjadi orde kleptokrasi jauh lebih berdosa besar. Itu tindakan biadab dari masyarakat sakit. Ya. Dimulai dari mental yang sakit, aturan yang cacat, praktek yang culas dan diakhiri dengan tindakan-tindakan khianat konstitusi adalah potret kita semua dalam demokrasi kriminal hari ini.

Demokrasi kriminal ini menternak pemimpin palsu (tidak otentik) yang menghasilkan janji palsu, program palsu, keputusan palsu, pulau palsu dan realisasi palsu. Kekuasaan mereka lalu kehilangan kuasanya; tak ada tajinya. Tunduk di kuasa yang tak terbaca.

Demokrasi kriminal ini menghasilkan anak haram "negara swasta" yang berfilsafat pasar adalah tuhan yang maha esa. Di negara seperti itu kita menghadapi delapan problem besar:

  1. Absennya diskursus negara pancasila;
  2. Absennya mentalitas Indonesia;
  3. Absennya sekolahan Indonesia;
  4. Absennya kurikulum Indonesia;
  5. Absennya refrensial Indonesia;
  6. Absennya UU Indonesia;
  7. Berkuasanya oligarki;
  8. Defisit para pahlawan dan ksatria.

Padahal, negara tanpa ksatria sejati seperti tubuh tapa jiwa, bagaikan pohon tanpa daun. Salah kita menciptakannya, sesal kita sepanjang masa (kalau nalar masih waras).

Kini, revolusi mental adalah janji suci yang terombang-ambing hasutan politik; dihempas para petualang. Akibatnya, kita semua jadi hambar, tak berkabar. Hanya 33.2% yang puas terhadap kinerja pemerintah.

Kita, sesungguhnya menunggu republik membaik. Itu bisa dilihat dari hasil riset buku-buku terbaik yang sangat serius terhadap kondisi ekopol hari lalu dan kini. Maka, jika kita semua tidak tobat, Indonesia bisa going no where dan out of order.

Di atas segalanya, soal "ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan)" tentu saja ilmu ini tak diukir di atas batu. Maka tak pasti. Berbeda dengan matematika. ATHG diukir di atas air. Sehingga yang muncul adalah asumsi-asumsi. Tentu berdasarkan data dan yurisprudensi.

Di kita lebih fatal lagi. Soal ATHG seringkali dijawab dengan doa dan istighosah plus ziarah. Maka, ilmu ATHG tak berkembang. Di militerpun, sebagai tulang punggungnya pertahanan negara, via BIN, ilmu ini stagnasi. Kita punya 2 jendral sempat berkuasa lama jadi presiden. Tetap saja, ilmu ATHG tak mudah diinjeksikan jadi penjaga negeri.

Maka, yang menyadari amandemen merupakan the war of legalization hanya bisa dihitung dengan jari tangan.

Apakah kita sudi dan mau jadi budak kolonial kembali? Janganlah. Menjijikan. Malu benar sama anak cucu. Malu sama Tuhan, hantu dan hutan.

***

0 comments:

Post a Comment