KEINDONESIAAN, KEMAKMURAN DAN KEMARTABATAN - Yudhie Haryono


Bagaimana nasib diskursus 3 hal di atas hari ini? Mengapa mendiskusikan 3 hal ini penting? Mari kita cek satu-satu.

Hari ini diskursus keindonesiaan praktis kosong. Karena itu warganegara berbondong-bondong praktek fundamentalisme, khilafah dan mimpi kerajaan, tribus dan ras. Kekosongan ini bermula karena absennya kurikulum keindonesiaan di sekolah: formal, informal dan non-formal.

Akhir-akhir ini, cita-cita memakmurkan seluruh rakyat juga sirna. Makmur kini hanya milik elite. Kemakmuran kini hanya hak oligark. Padahal kita hidup di negara pancasila yang punya tugas mulia memeratakan kemenangan, kebaikan, kemakmuran dan keadilan. Itu semua harusnya bisa diraba, dilihat, dirasakan lewat: rasa indrawi, rasa emosi, rasa spiritual dan rasa intelektual.

Karena itu, jika kekuasaanmu tak berguna memastikan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran warga miskin, kekuasaanmu sesungguhnya palsu!

Soal kemartabatan bangsa dan negara bagaimana? Praktis isu dan cita-cita ini juga musnah. Tak ada lagi pejabat elite pemerintah yang lantang bicara ini. Semua kini sibuk sukses sendiri, kaya sendiri dan bahagia sendirian.

Padahal, tak perlu kerumunan besar untuk meluruskan kiblat bangsa. Tak perlu gerombolan canggih untuk memastikan kesejahteraan bersama suatu negara. Tak perlu parpol besar untuk menegakkan moral pejabat pemerintah. Tak perlu semilyar ilmuwan, agamawan dan usahawan untuk memastikan martabat negara dan bangsa ini.

Cukup pasukan kecil yang bergerak rapi dan memiliki ide-ide jenius dalam tagline: pamit pejah. Lahir, jihad, zuhud, syahid. Jika itu kupunya, kupastikan keadilan dan kesejahteraan serta kemartabatan seluruh penghuni peradaban ini akan tertradisikan.

Aku siap makmum. Sudah kuwakafkan jiwa ragaku untuk republik. Kawan, pimpin pasukan ini. Kita akan pastikan peradaban baru: Kerja keras, kerja cerdas, kerja trengginas, kerja tuntas. Bersama beres: waras, wareg, wasis.

***

0 comments:

Post a Comment