Naskah Film Pendek "KINI KITA CERITA KONSTITUSI" - Yudhie Haryono


"Pada akhirnya kelak, kata tuan Radjiman Wedyodiningrat  pimpinan sidang PPKI, konstitusi dan negara ini harus terus hidup walau kita telah mati. Kita hidup lewat konstitusi yang kita ciptakan bersama, negara yang kita hidupkan. Demi semuanya." Inilah kisah mula konstitusi kita: UUD 1945.

Kita tahu, Pancasila dan UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

Tetapi, sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Jadi, kita memang punya banyak pengalaman soal konstitusi.

Setelah melewati zaman genting, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.

Pada kurun waktu berikutnya, yaitu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amendemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Kita tahu, konstitusi bukan mantera. Juga bukan kitab suci. Ia merupakan "konsensus bernegara," kata Bung Karno. Ia merupakan "dokumen politik yang menjadi acuan berpemerintahan: panitia kemakmuran rakyat," kata Bung Hatta.

Dalam sejarahnya, PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (dikenal oleh Jepang sebagai  Dokuritsu Junbi inkai) adalah panitia yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Sebelumnya sudah dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pendirian badan ini sudah diumumkan oleh Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret 1945. Tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito.

Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia.

BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso. Badan ini dibubarkan Jepang, lalu dibentuklah PPKI yang diresmikan pada 7 Agustus 1945 dengan ketua Bung Karno. Izin pembentukan badan ini diberikan oleh Hisaichi Terauchi, seorang marsekal Jepang yang berada di kota Saigon.

Memang agak ganjil. BPUPKI diisi orang-orang dengan latar belakang kecerdasan, ideologis dan karya. Sedang PPKI diisi orang-orang berlatar kedaerahan dan sisa elite kerajaan yang masih ada. Tetapi, itulah konsekwensi.

Pada awal berdirinya PPKI, keanggotaan terisi oleh Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta sebagai wakil ketua, dan 19 orang anggota lainnya hingga membentuk 21 anggota untuk formasi awal. Seiring waktu, PPKI bertambah lagi 6 anggota (termasuk Achmad Soebardjo sebagai penasihat) tanpa sepengetahuan Jepang. Jumlah semua sampai selesai menjadi 27 orang.

Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi.

Setelah itu, sejarah. Sidang-sidang terjadi. Perdebatan dan diskusi terhampar. Hal yang dibahas dan diubah dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 adalah:

Kata Mukadimah diganti menjadi Pembukaan. Sila pertama yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa." Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dirubah menjadi pasal 29 UUD 1945 yaitu "Nagara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa." Pada Pasal 6 Ayat (1) yang semula berbunyi "Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam diganti menjadi: Presiden ialah orang Indonesia asli."

PPKI menjalani beberapa sidang, di antaranya:

  1. Sidang 18 Agustus 1945. Sidang ini berhasil mengesahkan Undang-Undang 1945. Lalu, memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Tugas Presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum dibentuknya Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. Sidang 19 Agustus 1945. Sidang ini berhasil membentuk 12 kementerian dan 4 menteri negara. Membentuk pemerintahan daerah Indonesia yang dibagi menjadi 8 provinsi (Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Borneo).
  3. Sidang 22 Agustus 1945. Sidang ini berhasil membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29 Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950.

KNIP merupakan Badan Pembantu Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. KNIP ini diakui sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan menjadi hari jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI).

Lalu, berhasil membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Ini adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Tjipto Mangunkusumo, Sartono, Iskaq Tjokrohadisuryo dan Sunaryo.

Selanjutnya berhasil membentuk Badan Keamanan Rakyat. Pembentukan BKR bertujuan agar tidak memancing permusuhan dengan tentara asing di Indonesia. Anggota BKR adalah himpunan bekas anggota PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan dan para militer lainnya yang mendaftar.

Tentu saja, bernegara adalah berkonstitusi. Tanpa konstitusi, kita tak layak menyebut diri negara Indonesia. Bagaimana ide konstitusi yang paling inti? Adalah soal arsitekturnya, dasarnya dan haluannya.

Arsitekturnya adalah "majelis (MPR)," dasarnya Pancasila dan haluannya adalah garis-garis besar haluan negara (GBHN).

Ya. Tiap manusia bernilai karena ide dan gagasannya. Bukan berapa uangnya, anak siapa dan apa agamanya. Sebab, ini soal hidup bersama; adil, berdaulat, bermartabat dan sejahtera bersama. Tentu bukan soal hidup berbasis SARA. Sebab kita hidup di Indonesia. Bukan di Arab, bukan di Cina, bukan di Amerika.

Saat itu berkecamuk pertanyaan, ide apakah yang mampu mengimbangi oligarki politik penjajah? Apa solusi kita dari sandra oligarki ekonomi penjajah? Soekarno dalam pidato-pidatonya menegaskan bahwa solusinya adalah Demokrasi Terpimpin. Yaitu demokrasi atau menurut istilah Undang- Undang dasar 1945 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Demokrasi terpimpin bukanlah bentuk dari totalisme dan kediktatoran, bukan juga bentuk demokrasi liberal ala negara-negara Barat. Namun, suatu sistem demokrasi yang sesuai dengan alamnya Indonesia. Demokrasi yang dijalankan dengan bermusyawarah dan dipimpin oleh kebijaksanaan (wisdom).

Dalam demokrasi ini, rumah besarnya bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, id, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.

Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan/kesultanan/adat/cendekia.

Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.

MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).

Karenanya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal—DPR dan DPD) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.

Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.

Inilah inti demokrasi terpimpin atau disebut demokrasi terkelola. Tentu ini istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi yang berbasis pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah guna menghasilkan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Demokrasi ini pernah juga menjadi bagian dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Soal dasar, sudah final: Pancasila. Sedang soal haluan, kini kita sedang mendiskusikannya kembali. Pertanyaannya adalah, "mengapa kini kita butuh GBHN"? Jawabannya, karena GBHN adalah alat untuk menampung partikular seluruh ide dan gagasan mereka agar tak paria dan merasa disia-sia. Hal yang bisa menjadi benih sparatisme.

Kedua, menjadi alat ukur keberhasilan pembangunan yang dijalankan pemerintah. Ini penting sebab sistem presidensil yang bertumpu pada ide presiden terpilih sering cacat subtansi dalam ruang dan waktu.

Inilah kisah kita dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, fokus menjalani keutamaan dalam memenuhi janji proklamasi, demi keadilan, kemakmuran, kehormatan dan kemartabatan adalah yang paling utama.

***

0 comments:

Post a Comment