AKU BERMIMPI JADI KORUPTOR - Kwik Kian Gie


Akhir -akhir ini media massa, seminar, diskusi, konferensi pers, talk  show, ngerumpi, dan pembicaraan di warung-warung gegap gempita dengan  topik KKN. Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR diberitakan  secara hiruk-pikuk pula.

Saya sempat berpikir apakah KPK akan efektif  karena modus operandi korupsi yang begitu beragam.  Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak termasuk dalam tugas  pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jadi,  kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan bermunculan  daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau kalau sudah tidak bisa  membunuhnya saja, tidak termasuk domain KPK.

Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti ini, saya  tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi koruptor.

Saya menguasai betul berbagai cara berkorupsi, dari yang paling kotor sampai yang  paling canggih. Maka, saya menjadi orang sangat kaya. Rasanya tidak  seorang pun yang mempunyai gambaran betapa besar kekayaan yang saya  peroleh dari korupsi.
Semuanya bisa dibeli dengan uang, juga hukum. Maka, dalam salah satu pesta ketika saya mabuk, saya berkata, “I am the  Lord, I am the law, and I am the richest man in Indonesia.”

MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya terkadang menjadi  penguasa, terkadang pengusaha, terkadang pegawai negeri rendahan,  terkadang pengusaha besar, tukang parkir, dan apa saja yang mempunyai  kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi.

Sebagai pengusaha saya menyalahgunakan semua celah yang ada. Yang paling  mudah dan sederhana adalah menjadi rekanan dan pemasok kepada  pemerintah. Pemerintah membutuhkan barang dan jasa.

Setiap tahunnya  membelanjakan jumlah uang yang luar biasa besarnya. Caranya adalah  kongkalikong dengan pejabat yang mempunyai wewenang untuk membeli barang  dan jasa untuk kebutuhan kementerian atau badan pemerintah yang  dipimpinnya. Harga saya naikkan berkali lipat dan selisihnya saya bagi  dengan sang pejabat. Hasilnya lumayan, tetapi saingannya berat, karena  banyak sekali yang melakukan hal ini.

Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah tidak melakukannya  sendiri. Saya sudah mempunyai banyak pegawai tingkat tinggi yang tidak  memalukan kalau saya suruh bergaul dengan para pejabat yang rata-rata  sarjana. Merekalah yang melayani pejabat habis- habisan, dari melayani  istri dan anak- anaknya sampai mengantarkan sambil membayari mereka  berbelanja. Bahkan, mereka sampai berfungsi sebagai pembantu rumah  tangga sang pejabat.

Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai gedhek, mental budak,  dan tahan ngelesot berhari-hari sambil sering berfungsi sebagai badut.  Usaha ini yang dilakukan pegawai-pegawai saya berjalan terus. Saya  sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi
dan inovasi konsep-konsep yang  lebih canggih.

Setiap zaman saya memberi peluang KKN yang bentuknya lain. Sejak tahun  enam puluhan saya sudah melakukan banyak cara. Semuanya saya lakukan  dalam mimpi juga, yang ketika itu saya bermimpi menjadi konglomerat.  Berbagai modus operandi sudah saya tulis dalam berbagai artikel yang  dihimpun dalam buku kecil dengan judul Saya Bermimpi Jadi Konglomerat.

DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya ongkang-ongkang  saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan ekspor (export drive).

Caranya  memberikan kredit murah dengan bunga 12 persen setahun asalkan kreditnya  dipakai untuk membiayai kegiatan ekspor.

Bunga deposito ketika itu 22  persen setahun. Saya mengajukan permohonan kredit ekspor dengan rencana  ekspor yang meyakinkan.

Feasibility study dibuat oleh konsultan asing  dan ditulis dalam bahasa Inggris. Pejabat tinggi kita menganggap apa  saja yang asing dan dalam bahasa Inggris mesti lebih benar dan lebih  pandai.

Demikian juga laporan keuangan saya juga seluruhnya ditulis  dalam bahasa Inggris setelah diaudit oleh kantor akuntan yang termasuk  big five di dunia.   Segera saja kreditnya cair.

Tentu dengan uang suap seperlunya. Kegiatan  ekspor juga saya laksanakan. Hanya yang saya ekspor gombal, kain pel,  potongan- potongan sisa tekstil untuk membuat pakaian jadi.

Barang-barang ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di Singapura.  Setibanya, barang-barang itu langsung dibuang. Jadi tidak ada penggunaan  uang dari kredit ekspor untuk ekspor beneran.

Namun, saya dapat  memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga 12 persen saya  depositokan dengan bunga 22 persen. Kredit yang saya peroleh Rp 500  miliar.

Dalam setahun saya mendapatkan pendapatan bersih (setelah  dipotong pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22 persen dari Rp 500  miliar dipotong pajak sebesar 15 persen.

Bunga yang harus saya bayarkan  kepada bank BUMN sebesar 12 persen dari Rp 500 miliar atau Rp 60 miliar.  Saya untung Rp 33,5 miliar for doing nothing.

Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan di media massa.  BI menyatakan tidak ada yang dirugikan karena saya membayar utang  pokoknya tepat waktu. Demikian juga dengan bunga sebesar 12 persen  setahun yang mereka tentukan. Hi-hi,
mereka tidak peduli bahwa tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai.

Jelas mereka membodohkan diri  sendiri, menjadikan dirinya sendiri “teh botol” (teknokrat bodoh dan tolol) karena saya sogok.

Sambil melakukan ini terus, melalui asosiasi  perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye antisuap. Media massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik karena penyuapan cara halus yang dinamakan public relations saya cukup canggih.

DALAM bidang transportasi darat Indonesia sangat ketinggalan. Praktis  tidak ada jalan-jalan raya yang bebas hambatan (highway atau free way).  Bayangkan, jalan raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun adalah  Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun
itu kita tidak mampu membangun  jalan raya dari pulau yang paling padat. Sekarang keuangan negara  bangkrut-krut. Pemerintah dalam arti APBN tidak mempunyai uang.

Namun, bank-bank BUMN banyak duitnya.  Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol swasta yang  milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu sangat besar. Dengan menyogok seperlunya, saya memperoleh 100 persen dari dana yang dibutuhkan untuk  membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800 miliar. Dengan kredit Rp  800 miliar jadilah jalan tol. Begitu dipakai, pemakainya
membayar tol  fee secara tunai. Pemasukan uang ini dibagi 40 persen untuk saya dan 60 persen untuk membayar cicilan utang serta bunganya. Jadi begitu jalan  tol selesai, arus uang tunai serta-merta masuk ke kantong saya tanpa modal sama sekali.   Utang saya beserta bunganya juga serta-merta dicicil dari pemasukan tol  fee yang tunai.

Saya membuat proyeksi tentang berapa tahun sejak  dimulainya utang akan lunas, misalnya 15 tahun.

Lantas saya umumkan  bahwa setelah 15 tahun, jalan tol saya hibahkan kepada pemerintah. Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?  Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat tingkat tinggi “teh  botol”.

Mereka tahu bahwa semuanya dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri. Namun, saya sogok plus saya berikan segala argumentasinya,  seperti jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya uang, dan yang  terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur  memiliki barang, seperti jalan tol sekalipun.

Saya jelaskan bahwa ini  aliran pikiran yang modern yang menyerahkan semuanya kepada mekanisme  pasar. Mereka dan publik memakan teori ini.

Saya tertawa geli lagi karena ini bukan teori baru. Adam Smith yang  mengenali berlakunya mekanisme pasar, adanya invisible hands yang  mengaturnya.

Namun, hal itu sudah lama ketinggalan zaman karena  ditulisnya pada tahun 1776. Intinya masih berlaku, tetapi tidak untuk  barang publik, melainkan untuk barang-barang kelontong yang bisa  dipersaingkan dan tidak vital sifatnya.

Jalan tol mengandung monopoli  natural karena ruangnya untuk jalan tol untuk ruas tertentu hanya satu.  Mengapa harus diberikan kepada saya? Karena saya sogok!

Namun,  justifikasinya berbagai argumen yang ternyata ditelan dengan fanatik  karena yang berkuasa ketika itu “teh botol”.

PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai gedung pencakar  langit saya beli. Gedung bank BUMN saya beli dengan uang yang 100 persen  milik bank itu sendiri.

Saya memperoleh pinjaman dari bank BUMN yang  bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah milik saya, bank harus membayar sewa kepada saya.

Perolehan pembayaran sewa ini saya  pakai untuk mencicil utang pokok beserta bunganya dalam bentuk anuitas.  Jumlah anuitasnya saya samakan dengan uang sewa yang saya terima. Dengan  demikian, setelah sekian tahun gedung yang segitu besarnya milik saya. 

Mulai saat itu hasil sewa sepenuhnya saya nikmati karena utang sudah  lunas sama sekali.   Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya begitukan bukan  hanya satu gedung. Masa pimpinan bank begitu bodoh? Tidak, tetapi  menjadi bodoh karena cemerlangnya pikiran saya ditambah dengan
perolehan  uang banyak dari persekongkolan dengan saya.

INDONESIA sudah maju, mempunyai banyak perusahaan asuransi, antara lain  asuransi jiwa. Kalau tertanggung mati, ahli warisnya mendapat santunan  besar.

Saya menciptakan orang-orang yang tidak ada.  Jadi, saya  menciptakan tertanggung fiktif yang tempat
tinggalnya di daerah-daerah  yang sangat terpencil.

Setelah membayar premi beberapa kali saja, saya  menciptakan dokumen aspal tentang kematian tertanggung yang memang tidak  ada. Ahli warisnya orang-orang saya semua.

Masih banyak lagi cara-cara membobol perusahaan asuransi. Tentu orang  dalam perusahaan asuransi harus ikut di dalam komplotan ini supaya tidak  meneliti lagi. Maka, hampir semua perusahaan asuransi modal ekuitinya negatif. 

Ketika ramai dibicarakan tentang adanya kemungkinan pemalsuan uang,  bukan hanya satu pihak saja yang terlibat, seperti yang bahkan disebut namanya di surat kabar. Saya melakukannya juga.

Uang palsu saya tidak  pernah ketahuan karena tidak pernah beredar. Uang yang saya palsu senantiasa mengendap di kas sebagai iron stock atau persediaan minimum  untuk menjaga keamanan likuiditas. Jadi, saya mencetak uang palsu. 

Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada, tetapi nyatanya  tidak pernah beredar karena setiap bank harus mempunyai persediaan minimal.

Dengan demikian tidak akan pernah diketahui kecuali kalau  akuntan publik mengauditnya dengan mencatat nomor seri uang dan  selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri tertentu itu  terus-menerus mengendap di kas.

Akuntan publik tidak sampai ke sana  pikirannya.  Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan saya lanjutkan dalam mimpi berikutnya.

***

0 comments:

Post a Comment