REPUBLIK ALPA KEADILAN: NEGARA MINUS KESEJAHTERAAN UMUM - Yudhie Haryono


Sejak diproklamirkan, niat negara Indonesia adalah merealisasikan keadilan dan kesejahteraan plus kemartabatan. Menjadi sepasang sayap garuda yang gagah dan resiprokal-mutualis. Karenanya, Bung Karno telah menempatkan perspektif “keadilan sosial” sebagai pilar penting dasar negara dalam Pancasila.

Semangat untuk menciptakan keadilan sosial ini sungguh terasa dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang kini dikenal sebagai Hari Lahir Pancasila. Di situ, Bung Karno menyatakan dengan tegas pentingnya mendirikan negara Indonesia yang “semua untuk semua.”

Ketika menyampaikan prinsip keadilan dan sejahteraan, Bung Karno menggarisbawahi dengan kata-kata “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka." Dus, prinsip hibridasi yang harus dikerjakan dengan semangat “semua untuk semua” atau “gotong royong.”

Tentu bukan gotong-nyolong seperti kurikulum dan tradisi rezim setelahnya. Karena itu, pemerintahan terbaik adalah jenis pemerintahan yang membangkitkan jiwa warganegaranya; yang membuat warganya meraih yang lebih dahsyat; yang menyalakan api revolusi dalam hati-pikiran-perbuatan; yang membawa perdamaian dalam keseharian; yang membuat kita ikhlas memberikan kepadanya kejuangan dan cinta kasih selamanya.

Sebaliknya, pemerintahan terburuk adalah jenis pemerintahan pencopet bin maling yang mencerminkan akhlak bejat sepanjang hayat. Dalam pemerintahan yang buruk, cinta dan cita-cita proklamasi sudah dibuang. Di situ, jangan harap keadilan akan datang. Sebab itu, kesedihan warga hanya tontonan bagi mereka yang diperbudak jabatan.

Dalam republik jahiliyah, keadilan alpa; kesejahteraan absen. Mereka hanya teriak sabar, sabar, sabar dan tunggu. Jika warga protes dan marah. Karenanya, kita harus demo ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang. Kalian tahu mengapa? Sebab, penindasan serta kesewenang-wenangan tak boleh ditradisikan. Mereka harus dihentikan. Hentikan jangan diteruskan. Kita harus muak dengan ketidakpastian dan keserakahan.

Di jalan kami sandarkan cita-cita. Sebab di negara tak ada lagi yang bisa dipercaya. Penguasa, pandanglah kami sebagai manusia. Kami bertanya tolong kalian jawab dengan cinta. Bukan dengan budek, tuli dan buta.

Kalian harus paham bahwa orang yang paling berat azabnya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berkuasa tetapi tidak memanfaatkan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan dan mengusahakan kesejahteraan. Sedang orang yang paling bodoh di dunia adalah orang yang berkuasa tetapi tidak tahu kekuasaannya.

Kini, kita lihat para penguasa sedang jadi orang paling bodoh dan bersiap diazab karena keculunan dan keluguannya. Kerjanya hanya mbacot, gadai, jual murah, hutang dan mempermainkan warganegara.

Karenanya kini, warganegara tak menjumpai keadilan dari negara; tak menemui kesejahteraan dari pemerintah. Mereka hanya warga tanpa negara. Lalu, mereka mencari keadilan Tuhan. Bermimpin hukum Tuhan ditegakkan. Berharap dari bumi manusia menjadi bumi tuhan. Ilusi khilafah.

Seharusnya, jika di situ ada kemerdekaan; harus di situ ada kedaulatan; kebersatuan; keadilan; kesejahteraan dan kemartabatan. Tanpa paket lengkap, itu mirip sarapan nasi tanpa lauk ikan-sayuran dan minum susu. Di situ pentingnya kurikulum kemerdekaan dan kedaulatan. Di situlah urgensinya perealisasian nilai-nilai pancasila. Di situlah kewajiban menghadirkan agensi atlantis.

Maka bernegaralah; berpancasilalah. Sebab kita sengsara bila tak bernegara; tak berpancasila. Marilah kita beridentitas Indonesia yang waras dan luas. Sebab di situlah warganegara sesungguhnya mendapatkan identitas sosial nasional melalui kelompok di mana mereka hidup, bergabung dan menciptakan ketertarikan dalam mempertahankan atau memperoleh nilai diri yang hakiki, modern dan bermartabat.

***

0 comments:

Post a Comment