LOGIKA, IMAJINASI, ANGKA, DAN EINSTEIN - Muhammad Arsjad Yusuf



Logika dalam penalaran deduktif sekilas memang terlihat superior. Silogisme dari premis-premis implikatif tentunya akan selalu tampil meyakinkan ketika menjadi dasar sebuah argumen. Syaratnya, premis-premis tersebut harus bernilai kebenaran. Contoh sederhananya: setiap benda tunduk pada hukum gravitasi; apel adalah benda; apel tunduk pada hukum gravitasi. Namun, mungkinkah penalaran deduktif dengan sendirinya menghasilkan sesuatu yang bernilai kebenaran? Jawabannya tidak. Ia hanya menjadi proses pengolahan atas berbagai proposisi yang sudah diketahui sebelumnya.

Landasan penalaran deduktif dilahirkan dari proposisi-proposisi yang dihasilkan melalui penalaran induktif maupun penalaran abduktif yang setelah cukup mapan selanjutnya dapat digunakan sebagai premis. Meskipun begitu, ketiganya memang tetap harus digunakan secara kooperatif untuk saling menguatkan.

Penalaran induktif, melalui observasi fenomena-fenomena tertentu secara empiris, menghasilkan kesimpulan yang sekurang-kurangnya dapat diyakini sebagai sebuah fakta atau aksioma, self-evident. Misalnya, epistemologi primordial manusia yaitu pancaindera, secara empiris melihat semua benda selalu dalam potensi terjatuh ke arah bumi, yang kemudian secara umum dikenal sebagai gravitasi dan dinilai sebagai kebenaran.

Bagaimana dengan penalaran abduktif? Konsep penalaran abduktif, melanjutkan epagoge Aristoteles, dikenalkan oleh filsuf asal AS, Charles Sanders Peirce, dalam bukunya Illustrations of the Logic of Science. Menurut Peirce, penalaran abduktif melakukan proses pembentukan penjelasan dari sebuah hipotesis (explanatory hypotheses), bukan sekedar hipotesis deskriptif. Dia juga mengatakan penalaran abduktif adalah satu-satunya operasi logika yang mampu menghasilkan ide baru manapun.

Tentu saja, tidak seperti penalaran deduktif yang membentuk sebuah rangkaian premis mayor-minor yang tidak terputus, penalaran abduktif seperti memiliki jurang pemisah antara fenomena yang diobservasi dan penjelasan hipotesis yang diambil. Karena sebuah fenomena dapat menghasilkan banyak hipotesis dengan beragam penjelasan, lantas bagaimana salah satu penjelasan hipotesis yang dipilih tiba-tiba bisa disebut logis? Bila harus digambarkan dalam satu kata, penalaran abduktif adalah ‘imajinasi’.

Bila kata kuncinya ‘imajinasi’, bagaimana ia dapat dijustifikasi menjadi sesuatu yang dapat dinalar dan disebut logis? Imajinasi yang tidak dapat didemonstrasikan, tidak dapat difalsifikasi, dan tidak dapat diukur tidak punya perbedaan dengan khayalan. Karena itu, imajinasi hanya menjadi penalaran yang dahsyat ketika secara bersamaan ia dapat didemonstrasikan, berani memberikan tantangan untuk difalsifikasi oleh fakta tertentu, dan mampu menghasilkan sesuatu yang terukur.

Dalam beberapa contoh terpisah, misalnya, untuk menalar apakah artificial intelligence dengan level yang mampu melewati Turing Test memiliki kesadaran, John Searle menggunakan imajinasinya dan menghasilkan argumen Chinese Room sebagai jawaban ‘tidak’. Karena dapat didemonstrasikan, meskipun hampir tidak dapat dipastikan kebenarannya mengingat kesadaran adalah sesuatu yang an sich, sekurang-kurangnya argumen tersebut menjadi logis dalam konteks dapat dipahami melalui demonstrasi. Untuk menalar evolusi, yang oleh Karl Popper pada awalnya hanya dinilai sebagai upaya penelitian metafisik—meskipun akhirnya ia mengakui evolusi sebagai sains sehingga dapat difalsifikasi—J.B.S. Haldane mengajukan tes falsifikasi berikut: fosil kelinci era prakambrium. Meskipun berbagai fakta telah menguatkan evolusi, bila fosil itu ditemukan, evolusi akan menjadi tidak berbeda dengan khayalan.

Lalu bagaimana cara imajinasi diukur? Dengan angka. Tentu saja imajinasi yang dimaksud dapat diukur adalah ‘imajinasi terkontrol’ yang juga dapat difalsifikasi dan didemonstrasikan. Pembuktian dengan angka adalah bagian dari pembuktian matematis, karenanya pembuktiannya paling mendekati sempurna. Mengapa? Karena kepastian adalah tingkatan tertinggi dari pengetahuan, dengan kepastian denyut nadi pencarian kebenaran terhenti, dan matematika menghasilkan (hampir) kepastian itu. Dua ditambah dua adalah empat, habis perkara. Dua dikali dua adalah empat, selesai. Kalau saja eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara matematis, maka eksistensi-Nya pun tidak akan diperdebatkan, menghemat waktu Thomas Aquinas dan David Hume dalam perdebatan lintas abad, serta menyelamatkan banyak nyawa manusia.

Namun, ‘ukuran’ sebenarnya tidak (selalu) identik dengan kepastian. Kasus Pi bisa digunakan untuk menjelaskannya. Pi (22/7–estimasi bentuk pecahan) adalah selebriti dalam matematika, ia termasuk dalam kelompok yang memiliki sebutan keren yaitu ‘bilangan transenden’, semacam hall of fame-nya matematika. Karena Pi adalah bilangan irasional, ia menyisakan deretan angka tak terhingga dalam ruang setelah koma desimalnya—3,1415926535897932384626433 … dan selamanya. Bila Pi bukan bilangan rasional namun digunakan untuk mengukur luas lingkaran maupun bola, apakah hasil ukurannya menghasilkan kepastian dengan merepresentasikan luas lingkaran atau bola tersebut seutuhnya? No. Tapi yang pasti, karena “ketidakakuratannya” amat sangat kecil sehingga dapat diabaikan, ukuran-ukuran matematis—baik geometri maupun yang lainnya—selalu terbukti bekerja dalam sains terapan dan dalam memprediksi cara alam semesta bekerja. Dengan level yang mengagumkan sehingga layak disebut memiliki “kepastian”.

Integrasi logika, imajinasi, dan angka dalam konteks di atas akan menjadi kesatuan yang konkret melalui bantuan seseorang. Albert Einstein: teoretikus fisika, rockstar dunia sains, sinonim kata ‘jenius’. Kata ‘teoretikus’ sendiri memiliki implikasi serius dari penelitian yang dilakukan melalui thought experiment—eksperimen dalam pemikiran. Sepanjang kariernya, Einstein hampir tidak pernah menginjakkan kakinya dalam laboratorium untuk memahami semesta. Yes, Einstein tidak membutuhkan laboratorium dengan berbagai peralatan canggih, “laboratorium” Einstein adalah alam pikirannya. Einstein tentunya menyadari deduksi dan induksi tidak akan pernah mampu menghasilkan terobosan “gila” seperti abduksi. Karenanya, untuk mendapatkan akselerasi pemahaman yang komprehensif terhadap alam semesta Einstein menggunakan imajinasinya dan menciptakan interplay antara logika (deduksi-induksi) dan angka di dalamnya.

Hasilnya, pada tahun 1916 Einstein mempublikasikan format definitif dari teori gravitasinya yang disebut General Theory of Relativity (GTR). Melalui GTR, Einstein menggambarkan garis besar dari bagaimana segala sesuatu dalam alam semesta bergerak di bawah pengaruh gravitasi, lengkap dengan detail matematis yang intinya tertuang dalam Einstein Field Equation. Setiap beberapa tahun, para ilmuwan merancang eksperimen dengan presisi yang meningkat khusus untuk menguji teori ini dan hanya mendapatkan teori ini semakin akurat. Einstein juga mengajukan tiga tes falsifikasi yang disebut ‘tes klasik’ bagi GTR, salah satunya: bahwa seharusnya lintasan cahaya setelah melewati bagian pinggir matahari akan berbelok ke arah dalam. Bila itu tidak terjadi, maka seluruh ide GTR runtuh. Hal ini terkonfirmasi pada tahun 1919 melalui pengamatan gerhana matahari total, dan Einsten menjadi orang pertama yang mampu memberikan ukuran paling akurat dari tikungan lintasan tersebut, 1,75 arcseconds. Kalau tidak terbayangkan, cobalah untuk mengingat tendangan bebas David Beckham yang melengkung melewati sisi kanan pagar betis, bolanya adalah cahaya, pagar betisnya adalah matahari. GTR adalah ide paling brilian dalam dunia sains.

Menurut Einstein, waktu bukanlah konstanta yang bergerak stabil dari detik ke detik. Namun, waktu adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan dengan ruang sehingga disebut ruang-waktu (spacetime). Karenanya, waktu di satu tempat dengan tempat lainnya menjadi relatif. Misalnya dalam GPS, menurut GTR jarum detik pada satelit GPS bergerak lebih cepat daripada jarum detik di bumi, sehingga secara berkala perbedaan tersebut harus dikoreksi. Tanpa GTR, Google Maps tidak akan mampu mengantarkan penggunanya sampai tujuan.

Kesatuan ruang-waktu bisa diibaratkan seperti bentangan kain trampolin. Energi (misalnya cahaya) dan materi (sesuatu yang memiliki massa) seperti planet atau matahari, memiliki pengaruh pada ruang-waktu seperti pengaruh bola boling yang diletakkan di atas kain trampolin. Kain itu tentunya akan melengkung mengikuti bentuk bola boling. Itulah gravitasi menurut GTR, kurva dari ruang-waktu yang terbentuk oleh pengaruh dari energi dan materi. Tes falsifikasi lintasan cahaya yang dibahas sebelumnya mengikuti lintasan kurva dari ruang-waktu tersebut. John Archibald Wheeler merangkum fenomena ini dengan sangat efisien: “Materi [dan energi] mengatur bagaimana ruang-waktu harus berkurva, ruang-waktu mengatur bagaimana materi [dan energi] harus bergerak.”.

Imajinasi Einstein yang melahirkan GTR memang memenuhi keterukuran matematis serta tes falsikasi, tapi yang paling menakjubkan adalah demonstrasinya yang terjadi pada tahun 2016. Di tahun itu, LIGO (Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory)—dua laboratorium besar di Washington dan Louisiana, Amerika Serikat, yang dibangun khusus untuk mengonfirmasi nubuat Einstein—mendeteksi gelombang gravitasi yang sudah diprediksi melalui GTR pada tahun 1916.

Gelombang gravitasi? Ya. Untuk sementara, bayangkanlah ruang-waktu sebagai permukaan danau dengan air yang sangat tenang. Bila sebuah batu dijatuhkan dari atas permukaannya, maka pada permukaan air tersebut akan muncul riak atau gelombang-gelombang berbentuk lingkaran yang merambat dan menjauhi titik di mana batu tersebut dijatuhkan. Einstein memprediksikan bahwa seperti batu yang dijatuhkan itu, dua blackhole yang bertabrakan lalu bergabung menjadi satu akan menghasilkan efek serupa, dalam bentuk lingkaran gelombang gravitasi yang bergerak merambat dan menjauh dengan kecepatan cahaya (299.792.458 meter per detik) dari titik di mana dua blackhole tersebut bertabrakan. Serius, manusia aneh macam apa yang berimajinasi seperti ini?

Tapi, persis ‘gelombang gravitasi’ itulah yang terdeteksi oleh LIGO. Gelombang gravitasi itu muncul dari tabrakan antara dua blackhole yang terjadi 1,3 miliar tahun yang lalu. Saat itu terjadi, bumi baru dihuni oleh organisme dengan sel tunggal yang sederhana. Sementara gelombang gravitasi itu merambat dan menyebar ke seluruh penjuru alam semesta, bumi ber-evolusi, menghasilkan berbagai makhluk hidup seperti tumbuhan, dinosaurus, dan mamalia dengan salah satu cabangnya yang disebut primata. Salah satu cabang dari primata ini kemudian mengalami mutasi genetik yang menghasilkan kemampuan berbahasa. Cabang itu—homo sapiens—mengalami revolusi kognitif yang mempercepat kemunculan revolusi agrikultur dan  mengalami revolusi saintifik yang mempercepat kemunculan revolusi industri. Kemudian pada tahun 1916, salah satu dari homo sapiens bernama Albert Einstein menciptakan General Theory of Relativity dari kepalanya, dan memprediksikan keberadaan dari gelombang gravitasi. Hampir seratus tahun kemudian, laboratorium dengan teknologi yang mampu mendeteksi gelombang itu beroperasi untuk mengonfirmasi nubuat Einstein yang saat itu sudah wafat, dikremasi, ditebar abu jasadnya di sekitar halaman Institute for Advanced Study di Princeton, dan diawetkan otaknya sehingga sekarang dapat dikunjungi di Mütter Museum di Pennsylvania. Tepat satu abad setelah tahun 1916, gelombang gravitasi yang sudah melakukan perjalanan melelahkan dengan kecepatan cahaya selama 1,3 miliar tahun itu tiba, membasuh bumi, terdeteksi, menjadi bukti prediksi profetik Einstein.

Einstein memang bukan manusia sembarangan.

Bila diformulasikan, maka persamaan pengetahuan dalam konteks natural sciences dapat disederhanakan sebagai berikut: Pengetahuan = Logika x Imajinasi x Angka. Untuk menghasilkan pengetahuan baru, setiap imajinasi yang paling mungkin dinalar oleh logika harus dapat diterjemahkan ke dalam angka melalui proses matematis. Operasi perkalian dipilih karena bila seseorang mengajukan lima imajinasi dan memiliki nilai benar dalam logika (sehingga dikalikan satu) maka dia berpotensi menghasilkan lima pengetahuan baru, namun bila tidak mampu dibuktikan dengan angka secara matematis maka ia dikalikan nol sehingga hasilnya menjadi nihil. Imajinasi dapat membantu manusia memahami realita. Sebelum pengetahuan berkembang pesat, imajinasi menjadi kerangka bagi manusia untuk menemukan pengetahuan dan memahami realita. Seperti yang pernah dikatakan Einstein: “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas. Imajinasi mengelilingi semesta.”.


***

0 comments:

Post a Comment