MELAMPAU SARA - Yudhie Haryono


Apa yang salah dari SARA (suku, ras dan agama)? Tentu saja tidak ada. Itulah identitas-identitas purba bawaan manusia. Tetapi, dalam konteks berindonesia, SARA tak cukup baik bagi modalitas kehidupan kita. Mengapa?

Dari isu SARA, ordeba memproduksi politik identitas. Dan, dari SARA pula, ordeba memasung pluralitas dan memproduksi homogenitas. Negeri didesain anti kebinekaan (heterogenitas) sambil dijejali keikaan (kesatuan) yg dikunyah-kunyah.

Kita paham bahwa politik identitas adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok yang memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Singkatnya, politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan; bekerja pada aras asal beda bukan pada pendalaman program dan meritokrasi.

Tentu saja, politik identitas lahir sebagai kebangkitan kelompok-kelompok identitas akibat represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah menjadi politik identitas ketika menjadi basis kohesi dan argumentasi perjuangan kelompok. Di sini, identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis namun juga politis. Ada politisasi atas identitas dan sebaliknya.

Padahal, identitas dalam konteks kebangsaan seharusnya digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa kita. Bukan sebaliknya. Sebagai modal berkelompok secara sempit dan pariferal.

Identitas nasional yang menjadi dasar konsep kewarganegaraan (citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara. Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang, terlepas dari identitas apapun yang dimilikinya seperti identitas suku, ras, kelamin dan agama.

Saat identitas nasional yg berdiri hebat di atas dan untuk semua identitas purba tak dipahami, gugurlah kita sebagai bangsa Indonesia.

Akibatnya, problema kita yg bertumpu pada 10K menjadi terabaikan. Padahal, sebagai negeri postkolonial, kita masih mengalami 10 kenyataan: 1)Keterjajahan baru; 2)Kemiskinan; 3)Kepengangguran; 4)Ketimpangan; 5)Ketergantungan; 6)Kebodohan; 7)Kesakitan; 8)Konflik; 9)Kepunahan; 10)Keterabaian.

Tentu saja, jika kita jenius berIndonesia, wajiblah membuat protokolnya dan realisasikan satu persatu demi manusia nusantara, insan pancasila. Sebaliknya, jika kita jahil, akan mudah tertipu dengan isu ecek-ecek: arabisme, lgbt, teroris dll sebagai pengalihan persoalan subtantif.

Karena itu, hati-hatilah kalian kaum muda idealis dalam bernegara. Sebab, negara kalian kini sedang dicengkeram gerombolan neoliberalis bin fasis. Kalian harus paham bahwa neoliberalis bin fasis selalu berjanji membangun jembatan walau di negeri itu tak ada sungai. Mereka juga berjanji mencetak alkitab walau di negeri itu tak ada kaum beragama. Janji adalah buah harapan yg menjadikan penikmatnya ketagihan. Hiperjanji adalah ontologi neoliberalisme: Benua baru, harapan baru. Pasar baru, masyarakat baru. Hemmm, neoliberalisme memang dahsyat sebagai opium kehidupan. Memabukkan dan menghancurkan.

Singkatnya, kita harus melampaui SARA. Dengan mengembangkan kurikulum pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme adalah kerangka di mana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.

Pluralisme dan multikulturalisme niscaya menjadi ciri khas masyarakat dan negara modern. Ide ini juga menjadi kelompok sosial paling penting dan merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi-politik kita: yang adil, beradab, sejahtera, mandiri, modern dan martabatif.

Terakhir, ada pesan dari Albert Einstien buat orang-orang seperti kita yang berjuang dalam nilai-nilai idealisme. Menurutnya, "kantong kosong tidak pernah menghambat kemajuan. Yang bisa menghambat hanyalah kepala kosong dan hati kosong." Semoga hati dan pikiran kita berisi cita-cita, cinta dan kerja dalam keindonesiaan jenius yang nyata.

***

0 comments:

Post a Comment