STUDI POSTKOLONIAL BARU - Yudhie Haryono


#Semua peristiwa politik-ekomomi kita sebenarnya masih ilusif, menipu dan memerangkap. Karena ilusif, kita berhasil membuat negara besar (teritorialnya) tapi menternak rezim kecil (kedaulatannya). Kita berhasil punya presiden berlengan panjang tapi bervisi pendek#

Tentu saja, aku adalah salah satu orang terpenting dalam studi postkolonial, psikohermeneutika dan trias-ekonomika di Indonesia yang akan melahirkan "generasi revolusioner" pemanggul ide Atlantik dan Nusantara yang gigantik itu demi terciptanya masyarakat pancasila yang benderang. Para pemimpin bervisi panjang dan bersemesta.

Sayangnya, kata Cak Nun, "bangsa Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya Bapak yang disegani dan tidak ada Ibu yang dicintai."

Menyedihkan. Takdir yang harus dilawan. Qada yang harus dirubah. Keadaan yang semestinya disemogakan menjadi martabat dunia via usaha, doa dan kecerdasan.

Karenanya, untuk menjadi yatim piatu yang dahsyat, kita mulai dengan 5M: membaca, menulis, meriset, mempraktekkan dan mentradisikan. Jika cuma saling menipu seperti rezim kemarin dan hari ini, selesai sudah nasib kita dalam bernegara.

Untuk itu, kutulis buku yang berdimensi perlawanan! Guna menghasilkan keIndonesiaan, kemakmuran dan kemartabatan.

"Taukah kalian rasanya dijajah dan diperkosa"? Inilah pertanyaanku setiap mengawali kuliah postkolonial. Dan, mata kuliah ini bukan hanya kisah pemerkosaan tapi juga akibat dan warisan yang ditinggalkan serta siapa-siapa yang sengaja melupakannya serta tak mencari solusinya.

Kini sebagian besar kita tak mengingatnya, bahkan meneruskan pemerkosaan tersebut lebih paksa dan biadab. Sebab dikerjakan oleh teman sendiri sambil mengkhianati konstitusi.

Masihkah warganegara Indonesia percaya dan memberi mereka tempat bagi pengelolaan masa depan kalian?

Karenanya, dalam studi postkolonial Indonesia, kita akan sampai pada sejarah kopra, kopi, teh dan kakao (coklat). Kini kita adalah penghasil terbesar di dunia, empat varietas tadi. Tapi jika salah kelola, bukan tidak mungkin akan jadi milik orang lain seperti sawit dan tembakau (rokok).

Sungguh, ini soal-soal ideologis dan kecerdasan manajemen pengelolaan negara. Tidak sekedar citra dan keluguan semata. Apalagi soal malingter dan keluarga. Hal-hal yang justru jadi pilar rezim-rezim di kita.

Terlebih, dalam pendalaman studi ini ada sejarah shadow economic yang gigantik. Yaitu bisnis besar yang tak bisa dikendalikan negara: teroris, judi, prostitusi, narkoba, undang-undang. Nilainya 7000 Triliun/Tahun. Satu entitas bisnis yang kini sepenuhnya dikendalikan oleh asing, aseng dan asong (vegundal serdadu). Aliansi tiga agensi rakus yang rabun konstitusi dan buta sejarah revolusi sambil memproduk pengkhianatan-pengkhianatan terhadap warga negara.

Akhirnya, harta milik empat orang terkaya di Indonesia (konglomerat hitam, pebisnis shadow economic, pengemplang BLBI) sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin jika mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook: 2016).

Karena itu perlu trias revolusi dalam mengatasi produk fundamentalisme pasar. Pertama, ganti kebijakan kolonial menjadi kebijakan konstitusional. Kedua, ganti agensi begundal kolonial dengan agensi pancasilais-idealis. Ketiga, tegakkan hukum setegak-tegaknya tanpa pandang bulu; pajak super progresif buat kaum kaya dan subsidi kebutuhan dasar bagi kaum muskin.

Kini, sambil terus membaca, menulis, melawan, mempraktekkan dan mentradisikan revolusi, aku meyakini bahwa kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi dan menerima cinta, perhatian dan bantuan orang lain. “Terlalu sering kita meremehkan kekuatan sebuah sentuhan, sekilas senyuman, sebuah kata, mendengar keluhan orang lain, pujian tulus, atau tindakan kecil membantu orang lain, yang semua itu punya kekuatan untuk mengubah kehidupan,” kata guru Supri (2010).

Tuan guru Supri menulis beberapa buku. Salah satunya, adalah buku yang bercerita tentang "kelas cinta", sebuah kelas di ruang terbuka (halaman rumput) di kampusnya yang mengajak para mahasiswa untuk membahas masalah-masalah kehidupan yang dapat diselesaikan dengan "cinta" atau "kasih."

Kini, ayok pecahkan ragu, peluk revolusi. Tuliskan cinta, singkirkan benci. Lantunkan industri, tinggalkan malas. Mereka layak disebut trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional. Kulminasi dari menanam, memanen dan menabung.

Revolusi ini harus dikerjakan bersama secara simultan, berkelanjutan dan tertradisikan. Sebab sebagai negara postkolonial yang telah milyaran hari dirampok, kita mewarisi tiga hal: 1)Mental kolonial: inlander, myopik, malas dan mendendam. 2)Nalar kolonial: fasis, feodalis, ilusif dan fundamentalis. 3)Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan.

Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Merekalah yang akan menciptakan indonesia raya, nusantara dan peradaban atlantik.

Secangkir kopi di Nusantara Centre adalah wujud cinta yang ikhlas kepada kaum papa, tanpa menyikapi kaum papa dengan cara arogan: aku memberi kepadamu. Akhirnya, tidak penting seberapa banyak kita sudah memberi. Sebab, yang lebih penting adalah bagaimana kita memberi.

***

0 comments:

Post a Comment