DAN NEGARA PANCASILA ITU - Yudhie Haryono


Benarkah kini kita hidup di negara Pancasila? Apakah wujud riil dari bangsa Pancasila? Siapa paling bertanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan bangsa-negara Pancasila?

Inilah tiga pertanyaan penting yang mengemuka akhir-akhir ini karena:

  1. Kita terkejut dengan fenomena fundamentalisme keagamaan yang menjauhi pancasila;
  2. Kita marah atas hadirnya perundangan dan praktek-praktek ekonomi-politik yang terus mengkhianati pancasila;
  3. Kita cemas dengan kedaulatan negara dan warganya yang makin hilang karena ketiadaan UU Keamanan Nasional dan badan atau lembaga negara yang konsen mengurus hal tersebut;
  4. Kita galau atas menjamurnya produk budaya asing dan meredupnya budaya nusantara berbasis pancasila;
  5. Kita gelisah atas praktik-praktik pendidikan nasional yang melemahkan derajat kemerdekaan, kebersatuan, keberadilan, kebahagiaan dan keberindahan bernegara pancasila.

Lima soal inti inilah mengapa ketikan-ketikan hamba mengemuka. Kuketik sebagai ungkapan cinta dan tanggungjawab sebagai warganegara.

Mestinya, negara pancasila adalah kesadaran dan praktik melindungi segenap tumpah darah (ekosistem di tanah, laut dan udara) yang dalam perekonomiannya memasikan aturan tata kehidupan adil, sejahtera, berkelanjutan dan semesta karena dikuasainya kekayaan publik oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas, minyak, bandara, pelabuhan, tol, rumah sakit dan sekolahan.

Dus, tujuan politik pancasila adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih martabatif, baik bersama seluruh warga di dalam negeri maupun bersama negara-negara lainnya. Selanjutnya, politik pancasila hadir dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang merdeka, adil, modern, mandiri dan martabatif. Dengan begitu, politik pancasila akan selalu membantu untuk menganalisa dan memecahkan problema korelasi resiprokal antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada demi kebahagiaan bersama.

Penekanan adanya korelasi resiprokal ini menghindarkan pemahaman politik pancasila yang sering diredusir menjadi hanya sekadar hasrat, perilaku dan motif individu dalam bernegara seperti 10 tahun terakhir sehingga melahirkan warga (semuanya) koruptif, ilusif dan amoral.

Karenanya, praktik negara pancasila itu jika keadilannya menguasai pemerataan. Dan, pemerataannya berdimensi keindahan. Dan, keindahannya melampaui kekuasaan. Dan, kekuasaannya memiliki kemartabatan. Dan, kemartabatannya menternak kearifan. Lalu, kearifannya bersendi keadilan sosial bagi seluruh, ya seluruh warganegara!

Sayangnya, saat para revolusioner mendirikan negara dengan ide cemerlang, para pewaris menjualnya dengan ide kopi kolonial. Jika Tan memimpin rakyat miskin dengan gagasan-gagasan besar, elite hari ini memimpin kita dengan cengengesan dan blusukan.

Semboyannya "kaos oblong dan sandal jepit, kami berbohong agar kalian terjepit." Sedang Tan bersemboyan, "gerpolek." Dalam gerpolek, yang merupakan akronim dari gerilya, politik dan ekonomi, Tan Malaka membahas strategi militer yang seharusnya dan konsep pergerakan pada umumnya yang harus dilakukan oleh seorang gerilyawan.

Tan selalu mengingatkan rakyatnya untuk menjadi diri bangsanya sendiri; memahami tujuan sebenarnya negara Indonesia didirikan. Tan, setidaknya menjelaskan bahwa perang purba maupun modern bukan hanya milik para tentara, tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat agar Indonesia tidak bergantung pada bangsa lain.

***

0 comments:

Post a Comment