MAKMURKAN JIWANYA MAKMURKAN BADANNYA - Yudhie Haryono


Indonesia. Mencintaimu maka jarak dan waktu takkan berarti. Karena kalian akan selalu di hati. Bagai detak jantung yang kubawa kemanapun pergi. Bahkan sampai mati.

Indonesia yang mana? Adalah negara yang merdeka karena revolusi. Merdeka yang ditafsirkan Bung Sjahrir sebagai pemanfaatan kekuasaan negara untuk menghalangi laju korporasi nasional dan internasional yang rakus dan menindas, lalu fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak super progresif serta pengarahan negara dalam memastikan pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan untuk seluruh warga negara.

Adakah elite kita yang membaca dan meneladani pikiran dan gagasan Sjahrir? Saya sudah lama ragu. Lebih ragu lagi setelah membaca pidato-pidato dan tindakan-tindakan para penguasa. Buktinya, kemacetan lalu lintas, banjir, kerusakan lingkungan, KKN dan utang negara makin bertumpuk dan berlimpah. Berkali-kali kita buat pemilu guna mencari pemimpin terbaik, hasilnya nol besar. Macet makin macet, banjir tak mengecil.

Kemacetan lalu lintas pasti karena kemacetan pikiran. Akibatnya, kita tak punya solusi. Kita tak punya lompatan. Kita tak punya nalar kreatif yang meraksasa untuk atasi problem laten ini.

Dari sini kita membutuhkan nalar sadar waktu untuk memakmurkan jiwa (akal, nalar, pikiran) secara cepat dan tepat. Memakmurkan jiwa yang terus merdeka dengan mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan-kemanusiaan semesta dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan bermartabat di dunia internasional.

Bung Karno berkata, "memakmurkan negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya memakmurkan jiwa bangsa. Ya, dengan kata lain, modal utama memakmurkan suatu negara, adalah memakmurkan jiwanya yang utama."

Keberhasilan memakmurkan jiwa harus disempurnakan dengan memakmurkan badan. Maksudnya adalah memastikan kemakmuran fisik agar mampu mengadakan kegiatan ke arah perubahan yang lebih baik, stabil berkelanjutan plus ramah lingkungan.

Perubahan, perbaikan dan penambahan tersebut dapat dilihat secara kongkrit, nyata dari bentuk perubahannya. Dengan kata lain bahwa perubahan itu identik dengan adanya wujud atau bentuk dari pembangunan seperti adanya gedung-gedung, sarana perumahan, sarana peribadatan, sarana pembuatan jalan, sarana pendidikan, dan sarana umum lainnya.

Kemakmuran jiwa dan badan harus sejalan. Kemakmuran keduanya akan jadi batu pondasi yang kokoh guna mencipta Indonesia yang Raya. Di sini akal sejarah selalu mencatat bahwa kebesaran sebuah peradaban selalu dibangun di atas kekuatan ekonomi-politik yang powerful karena bersumber dari kemakmuran jiwa dan badan.

Tidak ada sejarahnya, sebuah bangsa atau peradaban akan disegani dunia jika penduduknya miskin; jika warganya bodoh; jika penghuninya culun; jika isinya cuek. Peradaban besar jika para penghuninya berpikir, berucap dan bertindak besar: makmur jiwa raganya.

Barangsiapa makmur jiwa raganya berarti makmur ruhaninya. Siapa yang makmur ruhaninya akan mentradisikan keadilan. Sebab, keadilan adalah kemakmuran yang sejati. Itu artinya, kemakmuran yang berdiri sendiri, akan selalu melanggar keadilan, dan sibuk mengembangkan ilmu dan metode untuk mengkamuflase ketidakadilan supaya tampak sebagai keadilan.

Makmur jiwa, makmur raga, makmur ruhani adalah tiga pondasi untuk mentradisikan keadilan sosial bagi seluruh semesta. Itulah ultima negara Indonesia kita.

***

0 comments:

Post a Comment