BANGSA TUNA KEHORMATAN - Yudhie Haryono


5K. Kemerdekaan, kedaulatan, kewibawaan, kehormatan serta keadaban bangsa dan negara di mata dunia. Inilah jejak proklamasi yang dipahat para pendiri republik. Tanpa 5K, sesungguhnya kita adalah tuna negara. Budak dan pelengkap penderita. Coba lihat Singapura dech: kecil tapi bermartabat dan terhormat.

Di manakah kini kehormatan kita sebagai bangsa yang eksis di dunia? Masih adakah masa depan kehormatan bangsa? Bagaimana itu direalisasikan? Tiga pertanyaan itu penting sebagai awal diskusi kita soal kehormatan.

Jujur saja, kini kehormatan bernegara itu barang langka dan bahkan punah pada hari-hari ini. Kepalsuan merajalela. Kegaduhan menjamur. Kemiskinan dan ketimpangan diproduksi tanpa ujung. Kita adalah kumpulan dan pengumpul prestasi negatif yang berkhidmat pada transformasi negatif.

Akibatnya, hidup terhormat dan mulia hanya ilusi, canda kaum pandir. Padahal, kehormatan itu kesetiaan dalam menjalankan kebenaran yang akhirnya melahirkan martabat dan nilai suatu negara.

Martabatlah yang membuat negara menjadi terhormat. Ia menjelma menjadi harga diri sebuah bangsa. Terhormat adalah sebuah tindakan untuk menjaga martabat dengan melakukan tindakan benar, pener, cepat, tepat dan bijaksana demi harga diri negara dan warganya.

Kehormatan, dalam bahasa Arab adalah 'Iffah. Ia masdar dari 'affa-ya 'iffu 'iffiyatan yang berarti memiliki arti mejauhkan diri dari cela; menjaga kesucian, memegang nilai-nilai ideal dari hal yang merendahkan, merusak dan menjatuhkan kehormatanya.

Kehormatan negara dengan demikian berasal dari nalar sadar waktu; dari nilai-nilai ideal; dari cita-cita besar; dari kesepakatan warga negara demi kedaulatan, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Tentu ia ilusi yang harus digali dan direalitaskan, direaktualisasi dan dimatrialisasikan.

Di era global, setiap waktu dan tempat di seluruh dunia adalah pertempuran dan perang. Tetapi, perang dan pertempuran terbaik di dunia ini adalah mendapatkan kehormatan bangsa. Tanpa menyadarinya, kita gagap di zaman gelap.

Tidak percaya? Mari kita lihat betapa gelapnya warga negara. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Termasuk penguasaan lahan 5 juta hektar oleh konglo yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya pertama di Indonesia.

Padahal, idealnya distribusi tanah mengikuti formula 1 juta untuk orang kaya, 2 juta untuk kelas menengah, dan 3 juta untuk si miskin.

Tetapi, distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah. Jika ini dipertahankan, negara menjadi alpa. Bangsa menjadi tuna. Sebab, sejarah di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Sedang kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim dan terjahat di dunia dan akherat.

Ingat, jika apa yang kita lakukan memberikan inspirasi kepada bangsa lain untuk berkreasi lebih, belajar lebih, melakukan lebih dan menjadi lebih, maka kita adalah pemimpin. Tetapi sebaliknya. Jika kita mencontohkan yang buruk rupa, kita adalah sekelas syaitan saja.

Karena itu, tanpa tanah yang terdistribusi dengan adil, tak ada kemerdekaan. Tanpa redistribusi SDA dengan adil, tak ada kedaulatan. Tanpa restrukturisasi ekonomi yang demokratis, tak ada kewibawaan. Tanpa transformasi shadow economic yang gagah, tak ada kehormatan. Tanpa perealisasian konstitusi, tak ada keadaban (civilization).

Jika itu semua alpa, tak usahlah kita bernegara. Sebab, apa artinya negara yang mengusir dan menggusur warganya. Ingat, para pejuang dulu memberontak adalah demi martabat dan kehormatan. Tanpa itu (walau ada banyak pembangunan) kita sesungguhnya sedang berkhianat.

***

0 comments:

Post a Comment