MENGUBUR ONTANIS STUDIES - Yudhie Haryono


#jangan-jangan Tuhan yang kalian sembah bukan Tuhan Muhammad dan para nabi. Sebab tuhan kalian tuli, budek dan buta. Tidak seperti Tuhannya Muhammad yang mengabulkan dan melindungi plus memberi petunjuk#

Refleksi teologis di atas perlu sering kita hadirkan. Sebab, rasanya kita kini sedang mengalami jalan buntu. Di wilayah publik tampil para pemenang yang begundal. Masyarakat kini sakit secara umum: membela yang bayar. Mirip nujum Ronggowarsito yang menyebut zaman edan. Sebab kini yang gak edan gak keduman.

Saat yang sama, problema kita dalam bernegara tidak berkurang. Kalian tahu, ternyata stabil dan berkecambahnya kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia sejak kolonialisme bukan saja karena road map ekonomi yang salah tetapi juga karena karakter buruk para elitenya yaitu "serakah" atau greedy.

Karakter ini sesungguhnya warisan filsafat Barat yang tidak memiliki sikap sak "dremo" (selaras dengan alam raya). Padahal di Indonesia sudah ada ajaran Ki Ageng Suryo Mentaram, yang ajarkan prinsip 6-sa: sa penake; sa butuhe; sa perlune; sa cukupe; sa mestine; sa benere.

Tentu saja, stabil dan berkecambahnya 10K di Indonesia juga karena SARA kita tak terlampaui. Mereka masih jadi opium yg dipeluk penuh nikmat tanpa rekonsolidasi dan nalar bergelombang. Terutama di sisi "agama." Kini agama kita terjatuh jadi bagian problema, bukan solusi. Terutama islam, dengan i kecil.

So, jika ada ide yang terjun bebas jadi kebodohan besar, itulah islam kini. Jika ada gairah yang meledak-ledak jadi kemubaziran, itulah jihad kini. Jika ada kasih yang hangat berbalik jadi poligami, itulah fikih hari ini. Jika ada gagasan besar Lek Mad yang berakhir tragis jadi ribut ecek-ecek macam cungkringisme, jilbabos dan elgebete, itulah ontanisme kini. Tanpa prestasi dan sodoran solusi atas problema ummat manusia.

Jenis agama ini persis Jokowi bagi Indonesia: lugu, culun dan merasa masuk syorga. Berteman dengan para begundal-kolonial yang tega merusak warisan besar para pembuatnya. Islam dan Indonesia: dua wajah sengsara luarbiyasa.

Singkatnya, islam dan indonesia kini defisit rasionalitas. Padahal, warisan dalam teksnya, nalar dan rasionalitas begitu dahsyat. Misalnya, terdapat kata ya’qilu (memakai akal) yang ada di 48 ayat dalam berbagai bentuk katanya. Al-aqlu dalam bahasa Indonesia menjadi akal.

Lalu ada kata nazhara (berpikir) yang terdapat dalam 30 ayat. Nazhara alam bahasa Indonesia menjadi nalar dan penalaran. Juga ada kata tafakkara (berpikir) yang terkandung dalam 19 ayat. Perbuatan berpikir dapat diungkapkan dengan kata fahima, dalam bahasa Indonesia menjadi faham. Fahiqa terdapat dalam 16 ayat, menggambarkan perbuatan berfikir.

Tadzakkara (memperhatikan, mempelajari) terdapat dalam 40 ayat, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai mudzakarah yang mempunyai arti bertukar pikiran. Juga terdapat kata tadabbara yang mengandung arti berpikir.

Tetapi, semua seakan-akan sirna. Padahal, agama rasional secara terminologis adalah agama yang menempatkan manusia sebagai pemimpin dengan kebebasan-kebebasan akal pikirannya sehingga punyai kedudukan tinggi dalam menjalani kehidupan. Yaitu kehidupan untuk memanusiakan manusia dan mengadilkan alam raya.

Ajaran tentang pemakaian akal, rasio dan nalar inilah yang telah melahirkan filosof-filosof dan ilmuan-ilmuan dahsyat seperti Alkindi, Alfarabi, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Ya’qub al Fazzari, Ahmad al Khawarizmi dan lain-lain.

Sayangnya, agama dianggap suci dan mensucikan. Dari konsep suci  ini, mengalirlah umat-umat suci, darah-darah suci, kitab-kitab suci, waktu-waktu suci dan tempat-tempat suci. Kesucian yang pada gilirannya mengharamkan kritis sambil membibit mitos. Ketika kritik diharamkan, maka mitos menjadi undang-undang, serta membulatkan agama menjadi suprarasional. Menjalaninya akan diridhai Tuhan, meninggalkannya berarti laknat dari Tuhan. Sayangnya di Indonesia kini, agama dan negara bagai dua wajah jahiliyah luwarbiyasa. Tanpa gagasan baru dan tanpa teladan.

***

0 comments:

Post a Comment