DEMOKRASI KALIAN - Yudhie Haryono


Yang tua, tak kapok-kapok dalam korupsi. Padahal, dunia baik terus menerus berlanjut, sehingga kaum muda waras harus mekar, agar keseimbangan jagat raya tetap harmoni.

Demi pilpres, ide dan gagasan selalu terasa punya makna. Tapi, tidak semua harapan harus  dimenangkan sesuka curangnya. Kita harus paham bahwa di dunia ini, tak ada yang bisa dipeluk erat atau dipertahankan sampai mati beneran. Selalu ada yang harus berkorban demi cita-cita dan cinta yang lebih besar serta untuk Indonesia.

Demikianlah kalau kaum tua sadar. Sayangnya kita terlalu pintar dan lulus  menternak kaum tua berbaju baru dan kaum muda bermental tua: fasis bin feodalis serta koruptif.

Ya. Melahirkan pemerintahan via demokrasi liberal adalah kejahatan tak termaafkan. Dan, membiarkan pemerintahan itu tumbuh menjadi orde kleptokrasi jauh lebih berdosa besar.

Tentu, itu tindakan biadab dari sebagian masyarakat sakit. Ya. Dimulai dari mental yang sakit, aturan yang cacat, praktek yang culas dan diakhiri dengan tindakan-tindakan khianat konstitusi adalah potret kita semua dalam demokrasi hari ini.

Para pemimpin palsu menghasilkan janji palsu, program palsu, keputusan palsu, pulau palsu dan realisasi palsu.

Kekuasaan kini kehilangan kuasanya; tak ada tajinya. Tunduk pada kuasa yang tak terbaca: kecuali angka dan kertas saja. Tanpa program pro kaum miskin dan termarjinalkan, walau mereka marhein dan arabis sekalipun.

Negara tanpa ksatria sejati seperti tubuh tapa jiwa, bagaikan pohon tanpa daun. Salah kita menciptakannya, sesal kita sepanjang masa (kalau nalar masih waras).

Kini, revolusi mental adalah janji suci yang terombang-ambing hasutan politik; dihempas para petualang. Akibatnya, kita semua jadi hambar, tak berkabar. Hanya 33.2% yang puas terhadap kinerja pemerintah.

Kita, sesungguhnya menunggu republik membaik. Itu riset buku-buku terbaik yang sangat serius terhadap kondisi ekopol hari lalu dan kini. Jika tidak tobat, kita bisa going no where dan out of order. Mau? Janganlah. Menjijikan. Malu sama anak cucu.

Yah. Dalam negara swasta yang berfilsafat pasar adalah tuhan yang maha esa, kita menghadapi tujuh problem besar:

  1. Absennya diskursus negara pancasila;
  2. Absennya mentalitas Indonesia;
  3. Absennya sekolahan Indonesia;
  4. Absennya kurikulum Indonesia;
  5. Absennya refrensial Indonesia;
  6. Absennya UU Indonesia;
  7. Berkuasanya oligarki yang anti pancasila, rabun indonesia, khianat nusantara.

Lalu, kita mau bagaimana? Rakyat sepertiku bingung dan bisu saja.

***

0 comments:

Post a Comment