Cerpen Minggu, LUWUK PAGI - Yudhie Haryono



Demi ikan asin. Atas nama keilmuwan. Kini, ikan asin menjadi hambar. Begitupula ilmu pengetahuan. Kedua heningnya membuat angan kecilku tentang masa depan tergambar lucu. Sebab, kau tak tertidur berbaring dalam dekapku. Masih kuingat paras wajahmu menegang menyimpan sesuatu.

Luwuk. Kutatap bulan pandang terawang malam seakan membisu. Setelah sekian buku dan jurnal teronggok di kasurku. Demi air putih yang sebentar lagi menjadi kopi, adakah larimu dari derita itu telah berlalu?

Di sini aku bertanya gundah pada keentahan, "mengapa kalian memuja orang, bukan pikiran dan program serta tindakan? Karena kalian tak punya pikiran jugakah?" Subhanallah.

Kini. Di kota Luwuk aku mengingatmu seperti mengingat teori ketergantungan yang sudah klasik tetapi dilupakan banyak pihak. Teori ini berkembang di negara postkolonial untuk menjelaskan lima gejala:

Pertama, negara postkolonial mengalami ketergantungan model pendidikan dan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan hadirnya institusi pendidikan internasional yang tak ramah pada tradisi lokal wisdom dan kejeniusan pengetahuan negara postkolonial.

Kedua, negara postkolonial mengalami ketergantungan model perdagangan kolonial. Hal ini ditandai oleh bentuk perdagangan luar negeri era kolonial yang bersifat monopoli dan oligopoli yang dikopi paste oleh pemerintah postkolonial.

Ketiga, negara postkolonial mengalami ketergantungan kebudayaan. Hal ini ditandai oleh dominannya budaya-budaya (bahasa, film, musik dll) negara maju yang diimpor serta mental mimikri yang mentradisi di masyarakat postkolonial.

Keempat, negara postkolonial mengalami ketergantungan industrial-finansial. Hal ini ditandai oleh dominasi investasi asing untuk produksi bahan mentah primer yang ditujukan untuk konsumsi di negara penjajah.

Kelima, negara postkolonial mengalami kergantungan tekhnologi industri. Hal ini ditandai oleh hadirnya perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan investasi di semua bidang tekhnologi.

Luwuk. Kota pantai. Aku menyesap asap dupa bakar ikan yang matinya sekali. Di sini, tetap mengira senyummu untukku walau bayang jiwamu telah purba seribu purnama berlalu. Masih kuingat indah puisimu yang selalu membuatku menyesal hidup. Terbawa aku dalam perihku, tak sadar kini kau telah pergi. Tentu, engkau masih yang terhebat di dalam hatiku.

Karenanya padamu kubagi tesisku: kini kita menapaki jalan buntu dalam berpancasila sebab yang paham tidak punya keberanian. Yang berani tidak punya barisan. Yang punya barisan tidak paham.

Luwuk. Biarlah waktu yang mengurai. Berat. Biarlah aku saja. Sebab engkau takkan kuat. Tokh keputusan terbaik yang pernah kita ciptakan akan ada jawaban alam via kreasi tuhan, hantu, hutan dan kegelian.

***

0 comments:

Post a Comment