MENCARI YANG TAK ADA - Yudhie Haryono



"Tidak semua orang beragama masuk sorga. Dan, tidak semua penghuni sorga beragama. Sebab, agama adalah penyakit yang ditularkan lewat dogma dan upacara." Semoga kalian tahu. Tidak sombong dengan agama. Tidak ribut soal agama.

Terlebih, subtansi agama hanya moral lima: 
  1. Apabila dipercaya, ia tidak berkhianat; 
  2. Apabila berbicara, ia tidak berdusta; 
  3. Apabila berjanji, ia tidak ingkar; 
  4. Apabila bermusuhan, ia tidak menelikung; 
  5. Apabila sukses, ia tidak takabur. 
  6. Apabila gagal, ia tidak mengeluh.
Tentu setiap agama itu luar biyasa. Karena itu dalam sejarah yang sangat panjang, nabi-nabi tidak hanya bicara hidup/mati/agama/ideologi/tuhan. Nabi-nabi selalu bicara keadilan dan kesejahteraan via revolusi struktur ekopolotik. Ya. Revolusi Sistemik ekonomi-politik yang gigantik.

Dus, yang bicara hidup/mati/agama/tuhan/ideologi baru sekelas romo dan kyai.

Sebelum mati, karena ditikam rindu yang luarbiyasa, izinkan kukirim surat cinta buatmu.

"Tidak penting bagiku apa agamamu. Bahkan aku tak peduli, kamu beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagiku adalah perilakumu di depan kawan-kawanmu, keluarga, lingkungan kerja, negara juga dunia.

Kasih, "jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena akan menjadi nasibmu."

Mengapa kondisi kita makin tak menemukan momentum menjadi negara sejahtera lahir batin? Ternyata, jika melalui jalur meta scient, kita dapat menganalisa lebih jauh kenyataan (ipoleksosbudhankam) yang terjadi di Indonesia dan direfleksikan untuk diarahkan kembali ke arah yang benar (sesuai tujuan dan cita-cita pendirian negara).

Singkatnya, lewat jalur meta scient ini kita berkesimpulan telah terjadi "salah resep" atas semua produk bernegara karena cita rasa asli Indonesia diselesaikan dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan luar yang tak universal. Missinglink ini sangat parah dan tak disadari untuk jangka waktu lama.

Negara postkolonial menikmati missinglink paling panjang. Hal ini karena penjajah memaksa dan mengganti ipoleksosbudhankam kita dengan tradisi mereka yang fraktal bin fakultatif yang tentu saja sempit. Kita jadi tercerabut dari budaya kita yang sesungguhnya.

Tak percaya? Lihat kasus korupsi. Betapa kita tangkap pelakunya via KPK, maka akan tumbuh pelaku berikutnya. Itu artinya pola penegakkan hukum ala Barat yang fraktal tak membuat korupsi surut dan tak membuat koruptor kapok bin tobat. Pola-pola lain terjadi di semua dimensi kenegaraan. Misalnya dalam politik pencapresan dll.

Mengatasi hal itu, kita perlu meta scient dan sadar budaya pada diri dan warisan budaya yang evolutif dari ribuan masa silam yang diproyeksilan untuk ribuan tahun masa depan. Di sini, kejeniusan menjadi niscaya.

***

0 comments:

Post a Comment