KURBAN SEBAGAI PUNCAK RITUAL - Gabriel Hartanto


Dalam setiap kepercayaan, dari zaman pra sejarah yang percaya kepada roh leluhur, animisme, dinamisme, totemisme sampai pada jamannya monotheisme, puncak dari ritual penyembahan adalah ritual kurban. Kurban adalah prosesi dimana manusia mempersembahkan barang berharga miliknya yang dipersembahkan kepada sesuatu yang dianggapnya berkuasa atas segala mahluk dan semesta.

Membahas darimana sumber sesungguhnya prosesi kurban ini diambil tentu dapat menimbulkan diskusi atau debat panjang. Jika kita membaca literatur sejarah peradaban manusia, akan kita dapati bahwa praktek memberikan persembahan sebagai kurban, dari kurban berupa hasil panen kebun, hewan ternak hingga manusia, telah sangat lumrah diterjadi di daerah peradaban Pasifik Selatan, Jepang Kuno, Asia Tenggara, Eropa kuno, wilayah tertentu Amerika, Mesoamerika, Yunani, Romawi sampai peradaban besar dunia kuno. Prosesi kurban dilaksanakan demi menenangkan dewa-dewa tertentu dan Tuhan yang dipercayai.

Tulisan saya kali ini akan berpijak pada praktek kurban dari lingkup kepercayaan monotheis yang bersumber dari kitab yang ditulis oleh Nabi Musa. Dalam kitab Keluaran, kurban pertama kali terjadi pada situasi paska Adam melanggar ketetapan Allah dengan memakan buah yang tak boleh dimakannya. Ketidak taatan Adam pada perintah Allah menjadi masalah serius; putusnya hubungan intim antara Allah dan manusia. Putusnya hubungan intim itu kemudian menjadikan Adam menyadari keadaannya yang telanjang dihadapan Allah dan membuatnya sangat takut. Adam menyadari dirinya sebagai manusia yang tidak layak berdiri dihadapan Allah yang kudus. Dan kenyataannya Allah yang kudus itu hanya bisa dihampiri dalam kekudusan, tanpa kekudusan tidak seorangpun bisa melihat Allah.

Agar kondisi manusia kembali pulih dihadapan Allah, maka inisiatif melakukan ritual kurban dilakukan oleh Allah sendiri dimana IA menyembelih hewan dan mengenakan kulit dari hewan sembelihan itu ke tubuh Adam sehingga Adam tidak lagi telanjang dihadapan Allah. Kisah itu menjadi momen paling mengharukan dan berkesan bagi Adam, sehingga ia kemudian menceritakannya kepada anak-anak keturunannya; kurban adalah ritual pemulihan bagi hubungan yang rusak antara Allah dan manusia.

Setelah peristiwa itu, ritual kurban kemudian berkali-kali disebutkan dalam kitab-kitab (Taurat) yang ditulis oleh Musa. Kisah yang tak kalah populer adalah tentang prosesi kurban yang dilakukan oleh keturunan Adam; Kain & Habel. Suatu kali, didorong oleh rasa syukur karena hasil panen kebunnya yang melimpah, Kain yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani, mempersembahkan sebagian dari panen hasil tanah yang dikelolanya itu kepada Tuhan.

Pada saat yang sama, adiknya Habel yang pekerjaannya sehari-hari sebagai peternak, juga mempersembahkan korban dari hasil ternaknya.

Kain & Habel sama-sama melakukan ritual kurban, namun yang kemudian berkenan kepada Allah adalah persembahan Habel. Habel telah melakukan ritual kurban persis seperti kisah yang didengarnya dari Adam. dimana Allah menjadikan hewan sebagai obyek kurban untuk mendamaikan dosa; ketidaktaatan Adam pada Firman Allah.

Setelah peristiwa Kain dan Habel, kitab Taurat kemudian fokus merinci secara detail bagaimana seharusnya ritual kurban yang berkenan kepada Allah dilakukan, dari pemilihan materi kurban yang tanpa cacat hingga prosesi yang seharusnya dilakukan tahap demi tahap tanpa ada kesalahan prosedur. 

Lalu apa kaitannya dengan kita yang hidup dizaman ini? Apakah kita masih harus melakukan ritual kurban? Masih relevankah ritual kurban itu bagi kita sekarang? Bagi para penganut monotheisme, kurban masih dikerjakan meski bentuk dan volume pelaksanaannya fariatif, tidak murni copy paste dari tulisan-tulisan Musa.

Bagi kaum Protestan, kurban telah dimaknai sebagai bentuk p enyerahan segenap hidup, selama hayat di kandung badan, untuk selalu kudus dan berkenan bagi Tuhan. Bagaimana bentuknya? tidak lain dengan melakukan praktek kurban setiap hari; selalu memberikan yang terbaik, kepada Allah maupun kepada sesama.

Memberi yang terbaik itu tidak mudah, membutuhkan kebesaran jiwa dan sikap rela menerima rasa sakit, butuh totalitas... itulah pengorbanan yang sejati. Jika dalam praktek memberi yang kita lakukan tidak disertai rasa "sakit".. itu bukanlah kurban. Jika waktu yang kita berikan kepada Allah adalah waktu senggang, itu bukan kurban. Jika kita memberikan baju kita kepada orang lain sementara kita masih punya jubah, itu bukan kurban. Jika kita menolong teman ditengah waktu luang, itu bukanlah kurban. Jika kita bekerja untuk rakyat karena darinya kita mendapatkan keuntungan, itu bukan kurban. Jika kita memberikan 1 milyar kepada rakyat sementara masih ada 1 triliun tersimpan aman, itu bukan kurban. Jika kita tidak pernah bisa mengerjakan ritual kurban, memberikan yang terbaik sebagai pengorbanan,  baik kepada Allah dan kepada sesama dalam hidup kita, maka kita tidak akan pernah bisa mendekat kepada Allah sang Pencipta kita.

Apakah kita mau dan telah menjadikan ritual kurban sebagai puncak tertinggi dalam siklus hidup kita untuk mencapai perkenananNya..?

***

0 comments:

Post a Comment