Kuliah Kedua "ANARKHI KEMAKMURAN" - Yudhie Haryono



Mulanya malas. Lalu, kemalasan jadi kebiasaan. Dicampur doa dan dupa, banyak orang berpikir, itulah jalan kemakmuran. Agama lalu jadi candu yang membuat pemeluknya tak perlu bekerja cerdas dan berinovasi.

Di sini, anarkhi kemakmuran dimulai. Seringkali atas nama takdir, manusia merasa mampu kaya dan makmur tanpa mengindahkan aturan dan moral serta habitus gotong-royong. Padahal kita sama-sama tahu bahwa kemakmuran tanpa kejuangan dan kejujuran pasti dikutuk alam raya; awal punahnya keadaban dan kemanusiaan.

Ujungnya: kemelaratan bin kemiskinan. Cucunya lahir kemudian, berupa kebodohan. Hilirnya, penjajahan yang tak berakhir. Padahal kata sang bajik, "barangsiapa bekerja keras, maka kemakmuran itu untuknya. Barangsiapa menumpuk malas, maka kemelaratan itu akan menjadi miliknya."

Mengapa kita melarat? Yang paling utama adalah karena kita tak mau membuang metoda hidup lama yang usang. Hidup kita aman di negara tanpa kreasi kecuali utang, gadai dan obral. Sedihnya, melarat jadi kunci dan syarat di negara produsen pengkhianat dan penjahat terbesar di dunia dan akherat.

Mencipta hidup baru itu mudah. Meninggalkan pola hidup lama itu yang susah. So, soal melarat adalah soal "kenyamanan" pada kejahiliyahan (bersama) yang diresmikan oleh negara via begundal kolonial yang berkuasa dan teks-teks ketikan mereka.

Itulah mengapa, pilpres (dengan pola lama) kita baru berhasil menegakkan demokrasi (para) pencuri yang menternak pencuri demokrasi. Resiprokal. Tak lebih. Tak kurang.

Maka, berhati-hatilah. Banyak kejahatan negara melarat dimulai dari kemelaratan ide dan pembagian sogok serupiah-dua rupiah. Kekerean dan kejahatan ini juga bisa berjejak pada ketiadaan sejarah perlawanan dan tanpa genealogi pemikiran serta ilusi yang dibesar-besarkan via media (pencitraan yang hiperrealitas).

MENINGGALKĂ€N DAN MENCIPTAKAN. ITU KUNCINYA. BUKAN YANG LAINNYA.

Sediakah kita merawat etos dan mental revolusi, inovasi dan progresifitas? Jika tidak, anarkhi kemakmuran akan terus berjalan. Dan, kemelaratan jadi keseharian. Kepicikan jadi keniscayaan.

Jika itu takdir kita, saya harus iba dan kasihan melihat Indonesia: melihat kita semua. Terutama para pribumi yang ksatria. Bangsa lain sudah membuat road map mengkoloni planet di jagat raya, kita masih belajar hitung manual; tipu-tipu dan sinetron rongsokan. Itupun tak lulus. Jadinya jahiliyah turun-temurun.

***

0 comments:

Post a Comment